Ramadan dan Balita

Ramadan dan Balita

Sebagai salah satu kegiatan rutin setiap tahun, melakukan puasa di Bulan Ramadan adalah bentuk ibadah yang wajib hukumnya bagi umat islam. Keberkahan bulan ini dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya umumnya membuat perbedaan aktivitas beribadah dalam keluarga muslim menampakkan perbedaan, seperti aktivitas sahur, berbuka puasa, shalat tarawih, witir, dan bertadarus. Belum lagi aktivitas kemanusiaan seperti bersedekah, zakat, dan berbuat kebaikan-kebaikan lainnya.

Dalam keluarga dengan anak pada umumnya dan anak prasekolah khususnya (kurang dari 7 tahun) pengenalan tentang Ramadan merupakan hal yang jamak dilakukan. Ada berbagai cara baik yang bisa dilakukan sebagai dasar bagi anak untuk bisa mengikuti kegiatan di Bulan Ramadan.

Hal paling pertama yang mesti disadari adalah tidak ada kewajiban berpuasa untuk anak karena belum menginjak usia baligh (hukum dalam Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan). Seorang anak dilatih untuk berpuasa dipandang sebagai pembiasaan untuk kemudian bisa melakukannya saat kewajiban tersebut sudah harus mereka tunaikan. Jika berbicara tentang latihan, maka ada prinsip-prinsip yang mestinya menjadi pengingat tentang bagaimana pelaksanaan latihan tersebut sehingga bisa dikatakan sukses. Pembahasan kali ini akan berfokus pada khusus pelaksanaan ibadah puasa.

  1. Mencontohkan.
    Anak pada umumnya dan balita khususnya adalah peniru dari lingkungan terdekat mereka, dalam hal ini adalah keluarga. Oleh karena itu bagaimana suatu keluarga menjalankan ibadah akan menjadi contoh bagi mereka dalam menjalankan ibadahnya. Ketika suatu keluarga mencontohkan ibadah puasa dengan sahur dan berbuka secukupnya, maka kemungkinan besar itulah yang akan mereka lakukan. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik berkaitan dengan ibadah.
  2. Menjawab Pertanyaan-pertanyaan.
    Ibadah puasa adalah salah satu sarana bagi anak untuk bertanya tentang hal yang ada di sekelilingnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa itu puasa?”, “kenapa berpuasa?”, “kenapa ibu puasanya tidak penuh seperti ayah?”, “puasa kok ngga bikin meninggal padahal ngga makan dan minum?”, dan lain sebagainya, adalah media tepat bagi orang tua untuk menjalin kedekatan dengan anak, menjadikan diri sebagai pihak yang ditanyai anak ketika mereka tidak mengetahui sesuatu. Jawaban yang diberikan mestinya menjadi jembatan terbuka dan terpeliharanya komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Hal ini menjadi kesempatan bagi orang tua untuk terus belajar tentang pelaksanaan ibadah sehingga bisa menjadi lebih baik dari tahun ke tahun.
  3. Anak adalah pahlawan dirinya sendiri.
    Menjelaskan di Bulan Ramadan ini sebagai cara untuk senantiasa rendah hati dan merasakan bagaimana kelaparan adalah hal yang abstrak bagi anak sehingga bisa membuat anak gagal paham. Pola pikir anak yang bersifat konkrit perlu direspon pula dengan jawaban yang konkrit dan lebih bisa mereka pahami. Bagi anak, sifat baik dan buruk masih merupakan dikotomi yang sangat jelas perbedaannya seperti melihat hitam dan putih. Menghayati pengertian baik dan buruk dalam perspektif anak merupakan salah satu cara untuk menjelaskan mengenai ibadah di Bulan Ramadan. Bisa dijelaskan kepada anak bahwa tubuhnya memiliki pahlawan yang terus berjuang melawan bibit penyakit setiap hari. Pada saat berpuasa, pahlawan-pahlawan tersebut sedang beristirahat dan recharge energy karena mereka tidak perlu waspada lagi dengan musuh penyakit yang datang bersama makanan dan minuman. Hal ini pada akhirnya membuat anak merasa dirinya adalah pihak aktif dalam melawan musuh-musuh.
  4. Kegiatan-kegiatan mengisi waktu di Bulan Ramadan.
    Anak memiliki sifat spontan sekaligus mudah dialihkan. Merupakan hal yang wajar saat sedang berpuasa mereka spontan mengeluh lapar dan haus apalagi ketika merasa bosan. Membuat kegiatan-kegiatan pengisi waktu merupakan hal yang bisa mengalihkan keinginan untuk makan dan minum, seperti kegiatan-kegiatan yang memang mereka senangi. Usaha orang tua untuk memfasilitasi anak menemukan dan melakukan kegiatan-kegiatan pengisi waktu pada dasarnya bisa digunakan sebagai bahan diskusi dengan anak tentang menunda keinginan sampai waktu yang dijanjikan tiba. Menunda waktu membeli mainan sampai saat yang diperbolehkan, menunda makan makanan ringan sampai waktu yang diijinkan, dan contoh menunda hal-hal lainnya. Bagaimana perasaan mereka saat harus menunda, bagaimana perasaan mereka saat berhasil menunda. Sehingga hakikat menunda keinginan sampai saat yang tepat tiba merupakan latihan yang bisa diberikan kepada anak, sekaligus sebagai bahan orang tua juga untuk bercermin dari pelaksanaan ibadah puasa.
  5. Pemberian hadiah.
    Pada anak usia akhir balita (5-6 tahun), ada beberapa anak yang bisa menyelesaikan puasa sampai akhir, yang membuat sukacita orang tua sehingga memberikan hadiah. Hadiah bisa dipandang sebagai hal yang membuat anak bersemangat berpuasa dan sebagai motivasi yang sifatnya eksternal. Namun semestinya dilakukan dengan hati-hati dan bijak dengan melihat kemampuan anak. Boleh saja menargetkan anak bisa puasa penuh 10 hari, 20 hari, atau selama Bulan Ramadan, setelah menanyakan kesiapan dan melihat perjuangan anak memenuhi targetnya tersebut. Terutama sekali perlu diingatkan bahwa berhasil atau tidaknya mereka tidak menjadikannya merasa lebih baik dari teman-teman sebayanya yang belum penuh berpuasa ataupun yang tidak puasa sama sekali. Oleh karena itu mesti pula dihindari kalimat yang menyemangati anak berpuasa dengan membandingkannya dengan anak lain yang sudah bisa berpuasa sampai saat berbuka tiba. Harus ada “hadiah” ketika mereka yang menargetkan puasa 10 hari, ternyata hanya bisa 3 hari, sehingga tidak mengalami kecewa yang tidak perlu. Hadiah yang “aman” untuk diberikan kepada anak contohnya menyediakan makanan favorit anak saat berbuka, pelukan, dan ucapan apresiatif tulus tentang momen perjuangannya menahan haus dan lapar sampai saat berbuka tiba. Misalnya saat ia berjuang mengalahkan kantuk untuk makan sahur bersama atau saat ia tidak mengeluh lapar dan haus.
  6. Tujuan akhir.
    Bagi anak usia balita sampai prasekolah, puasa di Bulan Ramadaan sebaiknya bertujuan untuk latihan dan pembiasaan anak melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh agama, dengan memperhatikan fitrah mereka, tidak mengurangi kegembiraan dalam masa kanak-kanak mereka. Oleh karena itu ketika ada yang bisa berpuasa sampai selesai (sampai waktu berbuka tiba), hal itu adalah bonus. Namun yang paling penting adalah mereka mengenal dan menghayati bahwa Bulan Ramadan adalah bulan yang menyenangkan. Saat mereka bisa makan makanan favorit mereka, saat bisa intens berkomunikasi dengan orangtua, mereka bisa merasakan dipeluk dan digendong untuk membasuh muka sebelum makan sahur, saat mereka bisa membuktikan diri kalau mereka bisa menunda untuk makan dan minum sampai saatnya tiba kemudian diberikan apresiasi tulus dari orang tua.

Bagi anak balita, momen Ramadan bisa menjadi momen mereka meningkatkan kelekatan dan kehangatan hubungan dengan orang tua dan anak. Berbagai modifikasi yang dilakukan orang tua seperti boleh berbuka setelah Azan Zuhur, boleh sahur sampai jam 6 pagi, dan lain sebagainya bisa saja dilakukan karena intinya adalah ada penundaan pemuasan kebutuhan makan dan minum mereka serta menghargai proses mereka ikut bergembira di bulan penuh rahmat.

Hamil Muda, Apa yang Harus Saya Makan?

Hamil Muda, Apa yang Harus Saya Makan?

Pada masa kehamilan, terlebih saat usia kehamilan 1-3 bulan pertama atau disebut dengan Trimester 1, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh ibu hamil namun masih sering terabaikan. Salah satu hal penting yang perlu menjadi perhatian ibu hamil adalah tentang kebutuhan nutrisi.

Pada Trimester 1 terjadi pembentukan organ tubuh janin (organogenesis). Sehingga pada masa ini ibu hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan dengan hati-hati dan sesuai aturan bidan atau dokter. Ada beberapa minuman yang mengandung kafein seperti kopi dan teh yang harus dikurangi, diperbolehkan mengkonsumsi kurang dari 200 mg per hari karena menurut penelitian terdapat hubungan antara mengkonsumsi kafein secara berlebihan dan kemungkinan resiko keguguran.

Sementara itu, Ibu hamil dianjurkan sekali untuk minum asam folat (Vitamin B9), yang berguna untuk mengurangi resiko cacat lahir dan kelainan tulang belakang (spina bifida). Meskipun demikian, tidak ada yang bisa mengalahkan kandungan pada makanan segar. Asupan tambahan asam folat secara prenatal juga dianjurkan dengan catatan harus di sesuaikan dengan kondisi masing-masing ibu hamil.

Kebutuhan ibu hamil meliputi lima nutrisi utama, yaitu; asam folat, kalsium, zat besi, zinc, dan serat. Untuk memenuhinya, ibu bisa mengkonsumsi sayur-sayuran seperti bayam, asparagus, brokoli, kubis, sawi hijau, lobak hijau, selada, kemudian buah-buahan seperti alpukat, buah bit, jus jeruk, jus tomat, pepaya, pisang, kacang-kacangan seperti kacang merah, kacang kedelai, kacang merah, kacang hijau, kacang polong, kacang tanah dan hati sapi. Kebutuhan asam folat ibu hamil yaitu 400-600 microgram selama kehamilan pada Trimester 1 setiap harinya.

Pada masa pembentukan organ tubuh, asupan asam lemak omega-3 juga dibutuhkan untuk mendukung perkembangan otak dan saraf bayi sebelum kelahiran. Ibu hamil dapat menemukannya pada minyak ikan, kedelai, dan ikan salmon.

Lalu, haruskah minum susu ibu hamil? Tidak, minum susu tidak wajib bagi ibu hamil, asalkan kebutuhan lima nutrisi utama tersebut sudah terpenuhi dari makanan dan vitamin prenatal. Jadi tidak perlu khawatir ibu yang tidak suka dengan susu atau mual ketika mencium bau susu, boleh makan-makanan yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh ibu hamil.

Cara Menghadapi Ketakutan dan Kecemasan Pada Anak

Cara Menghadapi Ketakutan dan Kecemasan Pada Anak

Hal yang dapat disimpulkan adalah rasa takut dan cemas merupakan hal yang normal bagi perkembangan anak. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah memberikan respon yang baik ketika anak memiliki ketakutan tertentu sesuai dengan usia perkembangannya. Hal yang perlu menjadi perhatian orang dewasa dan orang yang ada di sekelilingnya adalah sebagai berikut:tmh

  • Membahasakan kepada anak tentang apa yang dirasakannya, sehingga anak kemudian memperoleh kesempatan untuk mengenali emosi yang dimilikinya. Misalnya anak 4 tahun yang menjerit ketika lampu mati di malam hari karena, misalnya, dia menonton video seram di YouTube, maka respon yang baik adalah : kamu menjerit ya? Takut ya kamu nak? Jadi gelap, tidak kelihatan apa-apa ya?
  • Memberikan respon menenangkan, misalnya dengan memeluk anak, atau mengusap-usap bahunya. Pada kejadian mati lampu misalnya, setelah merespon jeritan anak, bisa dilakukan dengan peluk anak, tenangkan anak, berikan minum jika perlu.
  • Mencontohkan anak melakukan pemecahan masalah. Terhadap anak yang takut gelap misalnya, ajak anak untuk mencari lilin dan kemudian menyalakannya, mencari senter, sehingga bisa tertangani masalah tersebut.
  • Diskusi pada saat anak telah tenang, atau lampu telah menyala, untuk memberikan kesempatan kepada anak menceritakan pengalamannya sekaligus mengenali respon badannya terhadap kondisi yang membuatnya ketakutan. Misalnya setelah lampu kembali menyala, anak bisa ditanyakan bagaimana pengalaman takutnya. Jantungnya berdebar-debarkan, otot-ototnya menegangkah (misalnya otot tangan), suaranya jadi terdengar kencang sekali. Dari situ kemudian bisa dimasukkan pengetahuan bahwa takut itu ada pada setiap orang, bukan hanya dia saja.

Hal-hal yang sebaiknya dihindari dilakukan kepada anak

  • Membanding-bandingkan dengan anak lain atau saudaranya sendiri. Misalnya:kok lampu mati aja kamu takut begini? Tuh adik kamu, perempuan lagi, ngga jerit-jerit kayak kamu. Tidak ada anak yang senang dibandingkan dengan orang lain, dan terutama sekali itu tidak akan membuatnya menjadi tidak takut gelap, malah bisa saja kemudian dia memandang dirinya lebih tidak bisa apa-apa dibanding adiknya yang perempuan.
  • Menjadikan sumber ketakutan anak sebagai “senjata” agar ia menjadi patuh. Misalnya saja: kalau kamu ngga nurut, mama pergi. Hal ini kemudia akan menambah ketakutan anak dan menjadikan anak lebih waspada ketika melihat orangtuanya tidak ada di sekitarnya. Pada tahapan lanjutnya kemudian anak memandang dirinya adalah pihak yang salah ketika kemudian memang ayah atau ibunya pergi meninggalkan rumah karena permasalahan pernikahan misalnya.
  • Memberikan label pada anak, misalnya label pengecut, penakut dan sebagainya. Seringkali cap yang diberikan kepada anak dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Cap negatif yang disematkan kepada anak akan melukai harga diri anak, membuatnya tidak percaya diri, dan kemudian bisa saja memberikan permasalahan psikologis yang lebih serius. Jika pun ingin mengkritik, lakukan kritik terhadap TINGKAH LAKU anak, bukan mencapnya. Misalnya ketika anak melemparkan benda-benda saat dia marah, maka kita kritik perilaku melempar bendanya tersebut, bukan mengatakan ia anak yang susah diatur.

Note:

Jika ketakutan dan kecemasan anak sudah terjadi dengan ekstrim misalnya menangis yang tidak terkontrol, sering terbangun karena mimpi buruk, atau takut tidak sesuai dengan usia perkembangannya, maka perlu dipertimbangkan untuk berkonsultsi dengan pihak profesional untuk mencari pertolongan.

 

Sumber bacaan : Schroeder S. Carolyn & Betty N. Gordon. (2002). Assessment & Treatment of Chilhood Problems 2nd ed. (pp 262-267).

Mengenali Ketakutan dan Kecemasan pada Anak

Mengenali Ketakutan dan Kecemasan pada Anak

Pada dasarnya rasa takut dan cemas adalah bentuk respon emosi yang normal, yang salah satu fungsinya adalah untuk meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ketika seorang anak memiliki ketakutan atau kecemasan terhadap sesuatu, maka sebenarnya itu adalah kesempatannya untuk mengembangkan kemampuan pemikiran maupun fisiknya dalam menghadapi ketakutan dan kecemasannya tersebut.

Definisi takut adalah bentuk perasaan (emosi) yang berfungsi sebagai alarm bagi anak. Respon terhadap rasa takut adalah fight atau flight (melawan atau menghindar). Respon ini kemudian juga mengaktifkan sistem saraf otonom. Dari ciri fisik akan terlihat dengan keluarnya keringat, badan gemetar, otot yang menegang, napas yang menjadi lebih cepat, dan detak jantung lebih kencang. Misalnya saja anak yang takut dengan anjing. Ketika bertemu anjing di jalan, maka responnya ada 2, ada yang kemudian melempar dengan batu, mengeluarkan suara untuk mengusir anjing (fight) atau ada juga yang kemudian berteriak dan lari menghindar (flight). Perkembangan usia anak mempengaruhi persepsi dan pemahaman mereka terhadap objek yang diartikan sebagai suatu ancaman. Misalnya saja anak umur 6 bulan takut dengan suara yang keras, anak usia 7-8 bulan takut dengan orang asing, anak usia 2 tahun takut dengan objek besar yang mendekatinya.

Berbeda dengan takut, kecemasan adalah suatu bentuk keyakinan emosi yang ditandai dengan perasaan-perasaan negatif. Misalnya cemas dengan kejadian atau situasi negatif, yakin bahwa akan terjadi hal-hal yang buruk. Kecemasan penting dimiliki karena kemudian mempersiapkan anak untuk mengembangkan kemampuan perencanaan dalam menghadapinya. Misalnya saja rasa cemas tidak bisa lulus ujian membuat anak kemudian belajar lebih giat sehingga lebih siap menghadapi ujiannya.
Tabel di bawah ini memperlihatkan sumber yang dianggap menakutkan bagi anak sesuai dengan usianya.

Usia Hal yang menjadi sumber ketakutan atau kecemasan
1 tahun –      Berpisah dari orang yang menjaganya (orang tua, kakek, nenek, pengasuh)–      Orang asing

–      Toilet / kamar mandi

2 tahun –      Suara keras seperti kereta api atau petir–      Tokoh khayalan (misalnya monster)

–      Kegelapan

–      Berpisah dari orang yang menjaganya

3 tahun –      Objek yang terlihat (topeng, badut)–      Binatang tertentu

–      Kegelapan

–      Sendirian

–      Berpisah dari orang yang menjaganya

4 tahun –        Suara ( misalnya suara bising, sirine)–        Kegelapan

–        Binatang

–        Ditinggalkan orang tua saat malam hari

–        Pencuri

–        Tokoh khayalan

Kecerdasan Seseorang Bukan Hanya Soal Hitung-hitungan

Kecerdasan Seseorang Bukan Hanya Soal Hitung-hitungan

Sejak dulu, banyak orang beranggapan bahwa kepandaian atau kecerdasan seseorang diukur berdasarkan mampu atau tidaknya mereka dalam mengerjakan persoalan hitungan atau nilai mata pelajaran IPA yang mereka peroleh di kelas. Orang tua akan menjadi sangat bangga pada anak mereka, bila nilai Matematika dan IPA anak-anaknya memeroleh nilai yang tinggi di kelas. Sebaliknya, orang tua menjadi sangat sedih dan kecewa, bila anak-anak mereka tidak bisa memeroleh nilai yang tinggi pada kedua mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Berapa banyak orang tua yang sampai saat ini masih lebih bangga anak-anaknya masuk jurusan IPA daripada IPS atau Bahasa?

Di sisi lain, anak juga merasa sangat tertekan bila mereka tidak bisa memenuhi tuntutan untuk memeroleh nilai yang baik pada mata pelajaran Matematika dan IPA. Hal tersebut bahkan tidak jarang menjadi salah satu nilai negatif yang diberikan pada diri mereka sendiri, “Saya nggak pintar, karena saya nggak bisa Matematika.” Hingga saat ini, masih banyak yang beranggapan bahwa kecerdasan seseorang “hanya terbatas” pada kemampuan berhitung dan memahami rumus. Hal ini cukup memprihatinkan, sebab pada kenyataannya, manusia dianugerahi begitu banyak kemampuan yang luar biasa, tanpa “terbatas” pada kemampuan menghitung atau memahami rumus.

Seorang Psikolog Perkembangan dari Amerika bernama Howard Gardner yang pertama kali merumuskan bahwa manusia memilliki berbagai macam kecerdasan dalam dirinya. Teori ini dikenal dengan “Theory of Multiple Intelligences” atau “Teori Kecerdasan Majemuk”. Kecerdasan-kecerdasan (atau kompetensi-kompetensi) tersebut berkaitan dengan kemampuan unik yang dimiliki setiap orang, sebab meski mungkin satu orang memiliki seluruh kecerdasan tersebut, namun ada kecerdasan-kecerdasan yang paling menonjol, yang berkaitan dengan kecerdasan lainnya sebagai pendukung atau pelengkap. Itulah sebabnya, setiap orang menjadi unik dengan kecerdasannya masing-masing.

Gardner merumuskan ada 9 kecerdasan majemuk, yaitu:

1. Kecerdasan Verbal-lingustik (Verbal-linguistic intelligence), yaitu kemampuan yang baik dalam mengembangkan keterampilan verbal dan sensitivitas terhadap suara, makna, dan ritme dari kata-kata.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan berbahasa yang baik, seperti editor, jurnalis, penerjemah, dan presenter radio/televisi.

2. Kecerdasan Logika-matematik (Logical-mathematical intelligence), yaitu kemampuan untuk berpikir konseptual dan abstrak, serta kapasitas untuk memahami pola-pola logika dan angka-angka (numerikal).

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan analisa permasalahan dan penalaran logis dan/atau matematis seperti analis, pegawai bank, akuntan, ilmuwan, dan ahli statistik.

3. Kecerdasan Spasial-visual (Spatial-visual intelligence), yaitu kapasitas untuk membayangkan suatu bentuk/citra atau gambar-gambar, serta memvisualisasikannya secara abstrak dan akurat.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan menginterpretasi dan menciptakan gambaran-gambaran visual dan memahami hubungan antara gambar dan ruang seperti arsitek, kontraktor, ahli tata-kota, fotografer,  dan desainer grafis.

This intelligence is usually found in professions that require the ability to interpret and create visual images and understand the relationship between images and space such as architects, contractors, urban planning experts, photographers, and graphic designers.

4. Kecerdasan Gerak Tubuh-kinestetik (Bodily-kinesthetic intelligence), yaitu kemampuan untuk mengendalikan pergerakan-pergerakan tubuhnya serta keterampilan untuk menguasai peralatan-peralatan/ benda-benda (objek).

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan koordinasi fisik dan mata yang baik, keseimbangan tubuh, dan keterampilan jari-jemari seperti penari, guru olahraga, penjahit, atlit, dan perawat.

5. Kecerdasan Musikal (Musical intelligence), yaitu kemampuan untuk menciptakan dan mengapresiasi ritme, tangga nada, dan warna nada.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan untuk peka terhadap suara, ritme, dan hubungan antara suara dan perasaan seperti musisi, composer, dirigen, produser musik, dan penyanyi.

6. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal intelligence), yaitu kapasitas untuk mengenali dan merespon suasana hati, motivasi/tujuan, serta hasrat orang lain dengan tepat.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, dan memahami situasi dan kondisi mereka seperti psikolog, konselor, politisi, marketing, dan guru.

7. Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal intelligence), yaitu kapasitas untuk menyadari keseluruhan diri sendiri, dan menyatu dengan perasaan-perasaan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan proses berpikir dalam diri.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan penilaian yang objektif dan pengendalian diri seperti pengajar, penulis, konselor, filsuf, dan rohaniwan.

8. Kecerdasan Natural (Naturalist intelligence), yaitu kemampuan untuk mengenali dan mengelompokkan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan benda/objek lain yang ada di alam.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan pengenalan akan alam, kepekaan dalam merawat dan melestarikan alam seperti aktivis lingkungan hidup, petani, peternak, dokter hewan, dan polisi hutan.

9. Kecerdasan Eksistensial (Existential intelligence), yaitu sensitivitas dan kapasitas untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai eksistensi manusia, seperti “Apa tujuan hidup ini?”, “Mengapa kita mati?”, “Bagaimana kita bisa hidup di dunia ini?”

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan mengenai konsep-konsep abtrak tentang kehidupan dan keberadaan manusia seperti filsuf, dan rohaniwan.

Meski pada perkembangannya mungkin masih banyak ditemukan berbagai jenis kecerdasan lainnya, namun setidaknya hal ini cukup membuktikan bahwa kecerdasan seseorang tidak hanya dapat diukur berdasarkan kemampuan berhitung atau memahami rumus saja. Masih ada begitu banyak kecerdasan manusia yang masih bisa digali dan dikembangkan demi kepentingan diri sendiri dan banyak orang. Semoga semakin banyak orangtua yang peka terhadap kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki oleh anak-anaknya, sehingga kemampuan anak bisa dikembangkan dengan tepat sesuai dengan potensi mereka.

 

Aspek Pola Asuh Orang Tua

Aspek Pola Asuh Orang Tua

Banyak orang mengatakan bahwa anak adalah cerminan dari kedua orang tuanya. Bagaimana seorang anak bertingkah laku, itu merupakan cerminan dari bagaimana orangtua juga berperilaku. Sejatinya, orang tua tentunya selalu ingin memberikan yang terbaik bagi buah hatinya.

Ada beberapa situasi dimana seorang anak yang dilahirkan di keluarga yang cenderung diam justru melahirkan anak-anak yang cukup vokal di lingkungannya, hal ini dapat terjadi karena sang anak sudah mengerti bahwa komunikasi yang baik sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola asuh terbagi beberapa aspek, yaitu:

a. Warmth

Orang tua menunjukkan kasih sayang kepada anak, adanya keterlibatan emosi antara orang tua dan anak serta menyediakan waktu bersama anak. Orang tua membantu anak untuk mengidentifikasi dan membedakan situasi ketika memberikan atau mengajarkan perilaku yang tepat

b. Control

Orang tua menerapkan cara berdisiplin kepada anak, memberikan beberapa tuntutan atau aturan serta mengontrol aktifitas anak, menyediakan beberapa standar yang dijalankan atau dilakukan secara konsisten, berkomunikasi satu arah dan percaya bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh kedisiplinan.

c. Communication

Orang tua menjelaskan kepada anak mengenai standar atau aturan serta pemberian reward atau punish yang dilakukan kepada anak. Orang tua juga mendorong anak untuk bertanya jika anak tidak memahami atau setuju dengan standar atau aturan tersebut

Pada dasarnya, inti dari pola asuh adalah terciptanya komunikasi yang baik di antara orang tua dan anak. Jangan sampai seorang anak berpikir bahwa orang tua hanya mementingkan kepentingan mereka saja dikarenakan kurang terjalinnya komunikasi yang baik antar satu dengan yang lainnya.

 

Sumber referensi:

  • Damon, D., & Learner, R.M. (2006). Handbook of child psychology. Sixth edition. Canada : John Wliley & Son
Membacakan Buku Untuk Anak

Membacakan Buku Untuk Anak

Membacakan buku untuk anak sering kali menjadi saran yang diberikan untuk menstimulasi perkembangan anak, terutama pada anak prasekolah. Buku yang dibacakan pun bervariasi, tergantung kegemaran anak. Ada anak yang senang dibacakan cerita mengenai putri dongeng, cerita para nabi dan sahabatnya, cerita tentang binatang dan tumbuhan, cerita tentang kehidupan mainan, bahkan ada anak yang senang dibacakan buku berisi fakta-fakta tentang binatang tertentu yang menjadi ketertarikannya.

Kenapa ya, membacakan buku sering dijadikan saran untuk menstimulasi perkembangan anak? Sebenarnya, apa saja sih manfaat membacakan buku untuk anak? Berikut adalah beberapa manfaat membacakan buku untuk anak:

1. Meningkatkan pengetahuan

Dengan banyak dibacakan buku, tentu saja pengetahuan anak akan meningkat. Ia akan memperoleh pengetahuan mengenai berbagai hal yang mungkin belum pernah ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan dibacakan buku, mereka jadi tahu bahwa dulu di Bumi ini pernah hidup berbagai jenis dinosaurus, mereka jadi tahu bahwa ratu berpasangan dengan raja, dan pengetahuan lainnya.

2. Meningkatkan kemampuan berbahasa

Melalui buku, anak mengenal berbagai kosa kata, sehingga dapat ia manfaatkan untuk berkomunikasi sehari-hari. Anak juga belajar untuk menyusun kalimat dengan lebih lengkap agar mudah dipahami oleh orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hargrave dan Sénéchal (2000) mengungkapkan bahwa kemampuan berbahasa anak semakin meningkat ketika ia diajak terlibat aktif ketika buku dibacakan. Misalnya anak diajak untuk menebak kejadian berikutnya, atau diminta bercerita tentang apa yang ia ketahui mengenai sesuatu, memintanya mengeluarkan suara-suara tertentu, serta kegiatan lainnya.

3. Membangun relasi yang positif dengan anak.

Berbagai penelitian, salah satunya yang dilakukan oleh Andriana G. Bus dan rekannya, menunjukkan bahwa anak yang dibacakan buku secara rutin setiap hari oleh orang tuanya memiliki hubungan yang positif dengan orang tua mereka. Ketika anak dipeluk atau dirangkul sambil membacakan buku, ia merasakan kedekatan dan kehangatan dari orang tua mereka. Ia pun dapat lebih sering berkomunikasi sambil membahas hal-hal yang terkait dengan buku yang dibacakan.

4. Meningkatkan minat membaca

Ketika anak sering dibacakan buku, ia pun akan mulai tertarik dan ingin bisa membaca sendiri buku tersebut. Minat membaca ini juga akan semakin meningkatkan ketika anak mengalami bahwa membaca buku adalah sesuatu yang menyenangkan.

5. Meningkatkan kemampuan membaca

Anak akan lebih mudah untuk belajar membaca ketika ia memiliki kosa kata yang banyak. Ia akan lebih mudah mengenal dan memahami bentuk suatu kata ketika ia memahami makna dari kata tersebut. Sama halnya dengan kita yang lebih mudah dan lebih cepat ketika membaca kata-kata yang sudah sering kita dengar daripada ketika kita membaca kata-kata yang baru kita dengar.

6. Melatih anak untuk memusatkan dan mempertahankan perhatian

Membacakan cerita juga dapat melatih anak untuk memusatkan dan mempertahankan perhatiannya untuk mendengarkan dan memahami cerita tersebut. Tidak hanya memusatkan dan mempertahankan perhatiannya untuk memahami alur cerita, anak juga dapat diajak untuk mengingat tokoh-tokoh dalam cerita, tempat dan waktu kejadian dalam cerita, perasaan yang dialami tokoh dalam cerita, serta hal-hal lainnya. Biasakan juga untuk mengajak anak menceritakan kembali cerita tersebut atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dalam cerita.

7. Meningkatkan pemahaman mengenai situasi sosial dan media untuk mengajarkan nilai-nilai.

Cerita yang dibacakan untuk anak dapat menjadi salah satu media pembelajaran bagi anak mengenai berbagai situasi sosial, terutama situasi sosial yang belum pernah dihadapinya sehari-hari. Dengan membahas cerita tersebut bersama anak, ia dapat belajar mengenai hubungan sebab akibat, misalnya mengapa suatu kejadian terjadi. Anak dapat diajak mempelajari apa yang seharusnya dilakukan pada situasi tertentu. Selain itu, ia juga dapat diajak untuk mengenali dan memahami perasaan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Anak-anak dapat diajak untuk menarik pembelajaran dari cerita, serta dapat menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai moral pada anak.

8. Meningkatkan kreativitas anak

Hal yang tidak kalah penting adalah anak dapat meningkatkan kreativitasnya. Jika ia sering diajak untuk mengarang sendiri lanjutan ceritanya, anak akan berusaha memunculkan kreativitasnya untuk membuat cerita yang menarik. Bahkan, anak mungkin akan dapat membuat cerita karangannya sendiri. Kreativitas anak dapat meningkat dengan membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan isi buku yang dibacakan, misalnya membayangkan ukuran dinosaurus, bentuk istana, dan sebagainya.

Kira-kira, apa lagi ya, manfaat membacakan buku untuk anak? Ada yang pernah merasakan manfaat lainnya? Silahkan berbagi pengalaman dan manfaat yang diperoleh!

Mari membiasakan diri untuk membacakan buku untuk anak-anak secara rutin.

 

 

Sumber bacaan:

  • Hargrave, A. C., & Sénéchal, M. (2000). A book reading intervention with preschool children who have limited vocabularies: the benefits of regular reading and dialogic reading. Early Childhood Research Quarterly, 75-90.
  • Verhoeven, Ludo; Snow, Catherine E; (editor). (2001). Literacy and Motivation: Reading Engagement in Individuals and Groups. London: Lawrence Erlbaum Associate, Inc.
Mengenal Lebih Dekat Jenis Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak

Mengenal Lebih Dekat Jenis Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak

Dikutip dari materi pelatihan HEF Project Batch 2 mengenai Parenting yang dibuat oleh Khamsha Noory Finalisya, M.Psi.,Psikolog (Psikolog Klinis Anak)

Pola asuh merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan dari tiap orang tua (Petranto, 2006)

Pola asuh secara umum terdiri dari 3 jenis.

  1. Otoriter/Otoritarian
  2. Otoritatif
  3. Permisif

Jenis Gaya Pengasuhan (Baumrind, 1971)

  1. Karakteristik anak dengan pola asuh Otoriter
    • Penakut
    • Pendiam/tertutup
    • Tidak berinisiatif
    • Gemar menentang
    • Suka melanggar norma
    • Cemas
    • Tidak percaya diri
  2. Karakteristik anak dengan pola asuh Autoritatif
    • Mandiri
    • Dapat mengontrol diri
    • Mempunyai hubungan baik dengan teman
    • Mampu menghadapi stress
    • Mempunyai minat pada hal-hal baru
    • Kooperatif terhadap orang lain
  3. Karakteristik anak dengan pola permisif
    • Impulsif
    • Agresif
    • Tidak patuh
    • Manja
    • Kurang mandiri
    • Mau menang sendiri
    • Kurang percaya diri
    • Kurang matang sosial

Komunikasi merupakan jembatan antara anak dan orang tua

  • Luangkan waktu untuk memahami apa yang dimaksud anak
  • Kirimkan pesan yang jelas dan memberi dukungan
  • Berbagi perasaan dengan cara yang nyaman.

Ketika Anda menginginkan anak mengerjakan sesuatu, kemungkinan besar caranya adalah dengan memberikan instruksi. Padahal, memberi anak instruksi adalah hal yang sebaiknya hindari. Mengapa? Karena dengan selalu memberi instruksi pada anak, ia akan merasa bahwa ia anak yang bodoh, malas, sehingga harus selalu diperintah.

Ungkapkanlah perintah dengan perbincangan. Daripada Anda mengatakan “Nak, makan yuk!”, lebih baik mengatakan “Nak, mau makan dengan apa kita sekarang, yuk kita lihat di meja makan ada apa saja, kamu mau yang mana?”. Ajakan “Nak,makan yuk!” untuk anak yang sedang berada pada masa egosentris/negativistik akan secara otomatis memunculkan jawaban “tidak”.

Bermain di Alam Yuk!

Bermain di Alam Yuk!

Mengajak anak usia dini untuk bermain dengan lingkungan sekitarnya diperlukan agar pengetahuan anak usia dini terhadap lingkungan bertambah. Kegiatan bermain di alam akan mendorong semangat anak untuk peka dengan apa yang dilihat di alam sekitarnya. Pengenalan alam sekitar memberikan manfaat yang cukup besar bagi tumbuh dan kembang pada anak.

Nilai-nilai yang terkandung pada lingkungan dapat digunakan sebagai media bermain anak usia dini. Lingkungan yang ada disekitar anak merupakan salah satu sarana belajar yang dapat di optimalkan untuk pencapaian proses dan hasil tumbuh dan kembang yang berkualitas bagi anak. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari.

Jumlah sumber daya yang digunakan untuk bermain tersedia di lingkungan dengan kapasitas yang tidak terbatas. Dengan sumber media belajar yang tidak terbatas anak juga dapat mengoptimalkan potensi panca indranya untuk berinteraksi dengan lingkungan.

Untuk itu ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan bersama anak dengan alam sebagai media bermainnya.

1. Mencampur playdough dengan tumbuhan yang dapat menghasilkan warna alami

Dalam permainan ini, anak dapat bermain dengan playdough yang dapat merangsang sensorik pada tangan. Selain itu dengan beragam warna yang bisa dicampur dan didapat berasal dari daun yang berwarna hijau, warna jingga dari kunyit, bunga lavender dengan warna ungu, dan warna merah yang didapat dari bunga mawar. Dengan penambahan warna tersebut anak mendapat pembelajaran dalam pengenalan varian warna.

2. Bermain tanah

Selain bermanfaat sebagai media pengembangan kognitif pada anak, bermain tanah akan menciptakan kenangan indah dengan alam dan membuat mereka belajar melindunginya hingga dewasa.

3. Bermain

Bermain di alam merupakan salah satu cara pereda stres yang ampuh bagi anak dan Anda sendiri. Kadang perubahan pemandangan dan penempatan kondisi lingkungan dapat mengatasi rasa bosan pada anak. Selain itu anak mampu meningkatkan motorik kasar dengan berjalan, memanjat, meluncur, berayun pada pohon, dan segala macam kegiatan yang mengajarkan keterampilan motorik.

4. Berolahraga

Anak dapat bermain sambil berolahraga di alam terbuka. Dengan olahraga di ruang terbuka anak mendapatkan udara yang lebih segar serta asupan oksigen yang lebih banyak dari kadar oksigen lebih tinggi yang dihasilkan dari tumbuhan di sekitar. Dari hal tersebut anak akan menjadi lebih rileks dan sehat