Di tengah Pandemi COVID-19 yang mengharuskan masyarakat mengurangi aktivitas luar ruangan, beberapa produsen susu formula multinasional, mulai mengubah strategi pemasaran. Bureau of Investigative Journalism, sebuah organisasi media independen yang bermarkas di London, menemukan beberapa perusahaan ini mengubah cara beriklan selama pandemi. Perusahaan menggaet ibu-ibu untuk mempromosikan produk lewat media sosial. Pola ini diduga menabrak Kode Pemasaranan Susu Formula yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (Kode WHO).
“Perusahaan-perusahaan itu berpromosi secara bebas. Tetapi mereka tidak melanggar hukum karena tahu celahnya,” kata Ketua Asosiasi Ibu menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar, pada pertengahan Juli lalu. Dia meyakini para produsen susu formula tersebut memanfaatkan celah pada protokol WHO. “Karena celah itu sangat besar, mereka secara tidak etis memanfaatkanya untuk promosi.”
Apa isi kode internasional WHO?
Kode WHO berisi susunan rekomendasi untuk membatasi marketing produk susu formula, botol bayi, dan dot yang agresif dan kurang pantas. Kode ini lahir pada tahun 1981.
Kode ini mengkampanyekan agar para ibu menyusui bayi mereka dan terus menyusui anak-anaknnya hingga setidaknya tiga tahun. Seorang ibu bisa mengganti ASI hanya saat butuh dan pengganti ASI (PASI). Tapi pengganti ASI tak boleh dipromosikan oleh produsen.
Kode ini mencakup beberapa produk PASI (Pengganti Air Susu Ibu) seperti susu formula bayi, susu formula lanjutan, dan susu balita di bawah umur 3 tahun.
Beberapa ketentuan lain yang terkandung dalam Kode WHO ini termasuk:
1. Melarang iklan produk PASI dan bentuk promosi sejenisnya.
2. Produsen PASI beserta distributornya tidak diperkenankan menyajikan sampel produk mereka kepada perempuan mengandung, ibu-ibu, ataupun anggota keluarganya.
3. WHO tidak memperkenankan produsen untuk berkomunikasi atau memberi saran secara langsung maupun tidak langsung kepada perempuan mengandung atau para ibu.
Kode WHO melarang produsen susu formula berhubungan dengan perempuan yang mengandung dan ibu-ibu, baik secara langsung maupun tidak. Nyatanya, selama pandemi berlangsung sebuah perusahaan susu formula mengadakan berbagai webinar nutrisi anak. Mereka juga menayangkan secara langsung acara berjudul ParentFest yang menghadirkan pembicara dari kalangan dokter anak dan influencer media sosial. Pembawa acara terlihat sering menampilkan produk susu formula.
Salah satu perusahaan susu asal Prancis, menurut laporan Bureau, melakukan hal serupa selama pembatasan sosial. Mereka menjajakan produk mereka dengan mengajak konsumen berinteraksi bersama psikolog anak dan spesialis nutrisi yang tampil di webinar, lewat WhatsApp dan Instagram.
WHO memperkenalkan kode etik internasional untuk mengatur cara pemasaran susu formula pada 1981. Aturan ini dibuat untuk membatasi strategi pemasaran perusahaan susu formla di negara berkembang yang membuat marah komunitas internasional kala itu. Pada Mei 2016, WHO mengeluarkan lagi resolusi yang menegaskan bahwa pemasaran susu formula tak boleh menyasar anak-anak di bawah umur 36 bulan.
Sekitar 70 persen negara anggota WHO mengimplementasikan aturan pemasaran susu formula tersebut, tapi belum sepenuhnya. Baru 25 negara yang telah menaati Kode WHO secara penuh dan memiliki regulasi yang sejalan dengan kode tersebut. Indonesia termasuk yang belum sepenuhnya taat.
Dalam laporan teranyar tentang marketing susu formula yang dirilis Mei lalu, WHO menyoroti tren pemasaran susu formula di media sosial. Para ahli kesehatan risau. Mereka khawatir pemasaran susu formula lewat media sosial akan mendorong para ibu untuk mengabaikan anjuran agar memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif bagi bayi selama enam bulan pertama, hingga dua tahun.
Perusahaan yang melakukan strategi marketing tersebut belum terbukti melanggar aturan apa pun. Meski demikian, menurut Bureau, ahli kesehatan publik berpendapat kampanye tersebut tidak sejalan dengan semangat imbauan WHO.
Para ahli kesehatan mengkhawatirkan kampanye yang gencar di media sosial akan mementahkan gerakan ASI eksklusif, dan mendorong para ibu menggunakan susu formula meski tidak mereka butuhkan. WHO merekomendasikan bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan dilanjutkan hingga usia dua tahun.
Sebuah studi yang dilansir jurnal kesehatan The Lancet pada 2016 menyebutkan bahwa meningkatkan pemberian ASI dapat mencegah 820.000 kematian balita di dunia setiap tahun. Editorial jurnal tersebut pada tahun yang sama meminta iklan pengganti ASI di media sosial dihentikan. “Dari tembakau hingga gula dan susu formula, kelompok paling rentan yang akan menderita saat kepentingan komersial bertabrakan dengan kesehatan publik,” tulis Bureau mengutip laporan itu.
Menjawab pertanyaan Bureau mengenai dugaan pelanggaran Kode WHO, kepada 2 perusahaan produsen susu formula, mereka menegaskan dan menanggapi dengan serius setiap laporan dan kritik. Mereka juga mengatakan memiliki sistem yang terpercaya untuk mendorong orang melaporkan keluhan atas praktik marketing perusahaan.
Zig-zag produsen susu formula ini meluas berbarengan dengan tren berkurangnya pemberian ASI yang mengkhawatirkan. Sebuah survei kesehatan nasional oleh pemerintah Indonesia pada 2012 menemukan banyak anak berkenalan dengan susu formula jauh sebelum usia enam bulan. Padahal, enam bulan merupakan umur legal yang direkomendasikan untuk mulai mengkonsumsi susu formula.
Pada Februari 2016, Dewan eksekutif World Health Assembly pernah membahas secara serius ancaman peningkatan iklan susu formula daring. Mereka fokus pada beberapa taktik, seperti kelompok sosial online yang disponsori oleh industri formula serta iklan terarah melalui kanal digital Facebook dan blog.
Dewan eksekutif ini sudah mengajukan permohonan resmi kepada WHO agar merespon isu tersebut. Tapi belum sempat permohonan tersebut ditanggapi, pandemi virus corona datang.
Sebuah studi di tahun 2016 yang dirilis oleh konsultan kesehatan publik Independen Jakarta, Indonesia juga menyatakan bahwa 70 persen ibu mengandung dan ibu baru, telah terekspos materi promosi produk-produk pengganti ASI. Mereka kemungkinan besar akan menggunakan susu formula dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak terekspos iklan.
Data survei demografi dan kesehatan nasional yang dirilis Kementerian Kesehatan Indonesia di tahun 2017, menunjukkan hanya ada 38 persen ibu yang menyusui anaknya dengan ASI eksklusif dari lahir hingga usia enam bulan. Dalam lima tahun sejak 2012 persentase anak di bawah lima tahun yang belum pernah diberi ASI tumbuh dari 8 persen menjadi 12 persen.
Para ahli kini mendorong pemerintah-pemerintah untuk segera mengeluarkan aturan lebih ketat yang membatasi penjualan susu formula. “Tidak perlu ada perubahan Kode WHO. Negara dapat berinisiatif merespon perilaku ini dan mengatakan, baiklah, kami ingin memastikan ada regulasi yang mengatur hal tersebut (penjualan susu formula),” kata spesialis nutrisi WHO, Laurence Grummer-Strawn.
Tanpa aturan yang mengikat, beberapa ahli memprediksi produsen susu formula akan terus mengaburkan panduan WHO. “Kita harus punya kerangka regulasi untuk mencegah mereka mengeksploitasi dan memanipulasi publik,” kata ahli nutrisi UNICEF, David Clark.
Sumber:
the Bureau Investigative Journalism London
Tempo