Pos

Cerita tentang Pak Sahzan

Cerita tentang Pak Sahzan

Ada  pesan WhatsApp masuk. Saya buka, seketika ada hati yang rindu melihat swafoto yang dikirimkan. Swafoto saya berdua bersama Pak Sahzan. Pak Sahzan, begitu kami relawan IBU memanggil beliau. Pak Sahzan, salah satu relawan lokal IBU dari Desa Lombonga, Kabupaten Donggala.

Ketika pertama kami mau foto bersama beliau berkata bahwa foto itu yang akan disimpannya baik-baik jika rindu katanya. “Uh, Pak Sahzan bisa saja.”

“Foto bersama bang Awan, kalau rindu bisa lihat-lihat.”

Tidak saya sendiri. Semua para relawan IBU yang lain, beliau ajak foto bersama. Didatangi satu persatu “Boleh foto bersama?” “cekkrekk” hampir semua relawan IBU swafoto bersama beliau. Hehe.

Waktu itu adalah hari terakhir Lokakarya Dukungan Psikososial Terstruktur yang dilaksanakan selama empat hari untuk peserta relawan lokal di Kota Palu. Pak Sahzan menyempatkan diri untuk membeli baju baru. Saya kira buat oleh-oleh. Nyatanya, baju buat ditandatangani.

“Baju ini untuk minta semua tanda tangan relawan IBU Foundation. Akan saya simpan buat kenang-kenangan.”

Saya mengenal beliau pertama kali pada hari penutupan lomba tim anak dan remaja di Desa Lombonga. Pada pagi hari, beliau datang ke rumah Ibu Asliani (relawan lokal Lombonga). Dengan kaki dan seluruh tangan penuh sisa-sisa potongan rumput-rumput hijau.

“Loh, dari mana Pak Sahzan?” Tanya bang Iwan (relawan IBU).

“Habis bersihkan rumput. Biar rapi sedikit, Bang Iwan. Karena entar malam, bapak Wakil Bupati itu akan hadir pas penutupan lomba. Kasih rapilah sedikit kita punya lapangan.”

Sendirian, beliau membersihkan rumput-rumput tinggi di lapangan Desa Lombonga. Sambil sesekali Pak Sahzan “menutup” kotoran-kotoran sapi dengan pasir yang ada di belakang stadion. Maklum, disana sapi-sapi ternak itu dibiarkan berkeliaran.

“Setelah subuh tadi saya langsung kerjakan. Ini hanya sedikit.”

Pak Sahzan. Pak Sahzan.

Bahkan ketika acara Learning Event (serah terima kegiatan IBU kepada relawan lokal di desa dampingan), beliau pun datang. Acara itu dilakukan di enam desa, dari Sigi sampai Donggala. Desa yang paling jauh adalah Lombonga, asal desa Pak Sahzan. Tiga jam lama perjalanan dengan mobil dari Kota Palu. Di Sigi, desa paling ujung adalah Desa Bangga, lama perjalanan memakan hampir dua jam dari Kota Palu. Tidak kenal jauhnya jarak Desa Lombonga ke Desa Bangga, beliau tetap datang mengendarai sepeda motornya.

Di wilayah Donggala lain yaitu Desa Loli tasiburi beliau hadir. Di Desa Beka, datang. Di Desa Sibalaya utara, beliau tidak ketinggalan. Hanya di Desa Karawana beliau tidak datang, karena waktu pelaksanaannya tepat sehari setelah kegiatan dilakukan di Desa Lombonga.

“Ini menyambung silaturahmi bersama relawan lokal yang lain. Biar panjang umur.” Ujar beliau dengan senyum khasnya.

Saya (Kiri) dan Pak Sahzan (Kanan)

Saya (Kiri) dan Pak Sahzan (Kanan)

Minggu (31/3), peresmian dan penutupan Rumah Kencana di Desa Lombonga. Konon, ada air mata Pak Sahzan yang ditahan untuk tidak jatuh di pipinya. Air mata yang beliau sembunyikan untuk tidak terlihat sedih di depan teman-teman relawan IBU, karena perpisahan.

Setelah mengambil foto bersama, beliau tersenyum kembali. Tetap dengan air mata yang tidak jatuh di pipi.

Terima kasih Pak Sahzan. Doa baik kami, sehat-sehat, pak.

Sekotak Awan.

Relawan IBU

Cara Menghadapi Ketakutan dan Kecemasan Pada Anak

Cara Menghadapi Ketakutan dan Kecemasan Pada Anak

Hal yang dapat disimpulkan adalah rasa takut dan cemas merupakan hal yang normal bagi perkembangan anak. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah memberikan respon yang baik ketika anak memiliki ketakutan tertentu sesuai dengan usia perkembangannya. Hal yang perlu menjadi perhatian orang dewasa dan orang yang ada di sekelilingnya adalah sebagai berikut:

  • Membahasakan kepada anak tentang apa yang dirasakannya, sehingga anak kemudian memperoleh kesempatan untuk mengenali emosi yang dimilikinya. Misalnya anak 4 tahun yang menjerit ketika lampu mati di malam hari, maka respon yang baik adalah : kamu menjerit ya? Takut ya kamu nak? Jadi gelap, tidak kelihatan apa-apa ya?
  • Memberikan respon menenangkan, misalnya dengan memeluk anak, atau mengusap-usap bahunya. Pada kejadian mati lampu misalnya, setelah merespon jeritan anak, bisa dilakukan dengan peluk anak, tenangkan anak, berikan minum jika perlu.
  • Mencontohkan anak melakukan pemecahan masalah. Terhadap anak yang takut gelap misalnya, ajak anak untuk mencari lilin dan kemudian menyalakannya, mencari senter, sehingga bisa tertangani masalah tersebut.
  • Diskusi pada saat anak telah tenang, atau lampu telah menyala, untuk memberikan kesempatan kepada anak menceritakan pengalamannya sekaligus mengenali respon badannya terhadap kondisi yang membuatnya ketakutan. Misalnya setelah lampu kembali menyala, anak bisa ditanyakan bagaimana pengalaman takutnya. Jantungnya berdebar-debarkan, otot-ototnya menegangkah (misalnya otot tangan), suaranya jadi terdengar kencang sekali. Dari situ kemudian bisa dimasukkan pengetahuan bahwa takut itu ada pada setiap orang, bukan hanya dia saja.

Hal-hal yang sebaiknya dihindari dilakukan kepada anak

  • Membanding-bandingkan dengan anak lain atau saudaranya sendiri. Misalnya:kok lampu mati aja kamu takut begini? Tuh adik kamu, perempuan lagi, ngga jerit-jerit kayak kamu. Tidak ada anak yang senang dibandingkan dengan orang lain, dan terutama sekali itu tidak akan membuatnya menjadi tidak takut gelap, malah bisa saja kemudian dia memandang dirinya lebih tidak bisa apa-apa dibanding adiknya yang perempuan.
  • Menjadikan sumber ketakutan anak sebagai “senjata” agar ia menjadi patuh. Misalnya saja: kalau kamu ngga nurut, mama pergi. Hal ini kemudia akan menambah ketakutan anak dan menjadikan anak lebih waspada ketika melihat orangtuanya tidak ada di sekitarnya. Pada tahapan lanjutnya kemudian anak memandang dirinya adalah pihak yang salah ketika kemudian memang ayah atau ibunya pergi meninggalkan rumah karena permasalahan pernikahan misalnya.
  • Memberikan label pada anak, misalnya label pengecut, penakut dan sebagainya. Seringkali cap yang diberikan kepada anak dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Cap negatif yang disematkan kepada anak akan melukai harga diri anak, membuatnya tidak percaya diri, dan kemudian bisa saja memberikan permasalahan psikologis yang lebih serius. Jika pun ingin mengkritik, lakukan kritik terhadap TINGKAH LAKU anak, bukan mencapnya. Misalnya ketika anak melemparkan benda-benda saat dia marah, maka kita kritik perilaku melempar bendanya tersebut, bukan mengatakan ia anak yang susah diatur.

Note:

Jika ketakutan dan kecemasan anak sudah terjadi dengan ekstrim misalnya menangis yang tidak terkontrol, sering terbangun karena mimpi buruk, atau takut tidak sesuai dengan usia perkembangannya, maka perlu dipertimbangkan untuk berkonsultsi dengan pihak profesional untuk mencari pertolongan.

 

Sumber bacaan : Schroeder S. Carolyn & Betty N. Gordon. (2002). Assessment & Treatment of Chilhood Problems 2nd ed. (pp 262-267).

Mengenali Ketakutan dan Kecemasan pada Anak

Mengenali Ketakutan dan Kecemasan pada Anak

Pada dasarnya rasa takut dan cemas adalah bentuk respon emosi yang normal, yang salah satu fungsinya adalah untuk meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ketika seorang anak memiliki ketakutan atau kecemasan terhadap sesuatu, maka sebenarnya itu adalah kesempatannya untuk mengembangkan kemampuan pemikiran maupun fisiknya dalam menghadapi ketakutan dan kecemasannya tersebut.

Definisi takut adalah bentuk perasaan (emosi) yang berfungsi sebagai alarm bagi anak. Respon terhadap rasa takut adalah fight atau flight (melawan atau menghindar). Respon ini kemudian juga mengaktifkan sistem saraf otonom. Dari ciri fisik akan terlihat dengan keluarnya keringat, badan gemetar, otot yang menegang, napas yang menjadi lebih cepat, dan detak jantung lebih kencang. Misalnya saja anak yang takut dengan anjing. Ketika bertemu anjing di jalan, maka responnya ada 2, ada yang kemudian melempar dengan batu, mengeluarkan suara untuk mengusir anjing (fight) atau ada juga yang kemudian berteriak dan lari menghindar (flight). Perkembangan usia anak mempengaruhi persepsi dan pemahaman mereka terhadap objek yang diartikan sebagai suatu ancaman. Misalnya saja anak umur 6 bulan takut dengan suara yang keras, anak usia 7-8 bulan takut dengan orang asing, anak usia 2 tahun takut dengan objek besar yang mendekatinya.

Berbeda dengan takut, kecemasan adalah suatu bentuk keyakinan emosi yang ditandai dengan perasaan-perasaan negatif. Misalnya cemas dengan kejadian atau situasi negatif, yakin bahwa akan terjadi hal-hal yang buruk. Kecemasan penting dimiliki karena kemudian mempersiapkan anak untuk mengembangkan kemampuan perencanaan dalam menghadapinya. Misalnya saja rasa cemas tidak bisa lulus ujian membuat anak kemudian belajar lebih giat sehingga lebih siap menghadapi ujiannya.
Tabel di bawah ini memperlihatkan sumber yang dianggap menakutkan bagi anak sesuai dengan usianya.

Usia Hal yang menjadi sumber ketakutan atau kecemasan
1 tahun –      Berpisah dari orang yang menjaganya (orang tua, kakek, nenek, pengasuh)–      Orang asing

–      Toilet / kamar mandi

2 tahun –      Suara keras seperti kereta api atau petir–      Tokoh khayalan (misalnya monster)

–      Kegelapan

–      Berpisah dari orang yang menjaganya

3 tahun –      Objek yang terlihat (topeng, badut)–      Binatang tertentu

–      Kegelapan

–      Sendirian

–      Berpisah dari orang yang menjaganya

4 tahun –        Suara ( misalnya suara bising, sirine)–        Kegelapan

–        Binatang

–        Ditinggalkan orang tua saat malam hari

–        Pencuri

–        Tokoh khayalan

Kecerdasan Seseorang Bukan Hanya Soal Hitung-hitungan

Kecerdasan Seseorang Bukan Hanya Soal Hitung-hitungan

Sejak dulu, banyak orang beranggapan bahwa kepandaian atau kecerdasan seseorang diukur berdasarkan mampu atau tidaknya mereka dalam mengerjakan persoalan hitungan atau nilai mata pelajaran IPA yang mereka peroleh di kelas. Orang tua akan menjadi sangat bangga pada anak mereka, bila nilai Matematika dan IPA anak-anaknya memeroleh nilai yang tinggi di kelas. Sebaliknya, orang tua menjadi sangat sedih dan kecewa, bila anak-anak mereka tidak bisa memeroleh nilai yang tinggi pada kedua mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Berapa banyak orang tua yang sampai saat ini masih lebih bangga anak-anaknya masuk jurusan IPA daripada IPS atau Bahasa?

Di sisi lain, anak juga merasa sangat tertekan bila mereka tidak bisa memenuhi tuntutan untuk memeroleh nilai yang baik pada mata pelajaran Matematika dan IPA. Hal tersebut bahkan tidak jarang menjadi salah satu nilai negatif yang diberikan pada diri mereka sendiri, “Saya nggak pintar, karena saya nggak bisa Matematika.” Hingga saat ini, masih banyak yang beranggapan bahwa kecerdasan seseorang “hanya terbatas” pada kemampuan berhitung dan memahami rumus. Hal ini cukup memprihatinkan, sebab pada kenyataannya, manusia dianugerahi begitu banyak kemampuan yang luar biasa, tanpa “terbatas” pada kemampuan menghitung atau memahami rumus.

Seorang Psikolog Perkembangan dari Amerika bernama Howard Gardner yang pertama kali merumuskan bahwa manusia memilliki berbagai macam kecerdasan dalam dirinya. Teori ini dikenal dengan “Theory of Multiple Intelligences” atau “Teori Kecerdasan Majemuk”. Kecerdasan-kecerdasan (atau kompetensi-kompetensi) tersebut berkaitan dengan kemampuan unik yang dimiliki setiap orang, sebab meski mungkin satu orang memiliki seluruh kecerdasan tersebut, namun ada kecerdasan-kecerdasan yang paling menonjol, yang berkaitan dengan kecerdasan lainnya sebagai pendukung atau pelengkap. Itulah sebabnya, setiap orang menjadi unik dengan kecerdasannya masing-masing.

Gardner merumuskan ada 9 kecerdasan majemuk, yaitu:

1. Kecerdasan Verbal-lingustik (Verbal-linguistic intelligence), yaitu kemampuan yang baik dalam mengembangkan keterampilan verbal dan sensitivitas terhadap suara, makna, dan ritme dari kata-kata.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan berbahasa yang baik, seperti editor, jurnalis, penerjemah, dan presenter radio/televisi.

2. Kecerdasan Logika-matematik (Logical-mathematical intelligence), yaitu kemampuan untuk berpikir konseptual dan abstrak, serta kapasitas untuk memahami pola-pola logika dan angka-angka (numerikal).

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan analisa permasalahan dan penalaran logis dan/atau matematis seperti analis, pegawai bank, akuntan, ilmuwan, dan ahli statistik.

3. Kecerdasan Spasial-visual (Spatial-visual intelligence), yaitu kapasitas untuk membayangkan suatu bentuk/citra atau gambar-gambar, serta memvisualisasikannya secara abstrak dan akurat.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan menginterpretasi dan menciptakan gambaran-gambaran visual dan memahami hubungan antara gambar dan ruang seperti arsitek, kontraktor, ahli tata-kota, fotografer,  dan desainer grafis.

This intelligence is usually found in professions that require the ability to interpret and create visual images and understand the relationship between images and space such as architects, contractors, urban planning experts, photographers, and graphic designers.

4. Kecerdasan Gerak Tubuh-kinestetik (Bodily-kinesthetic intelligence), yaitu kemampuan untuk mengendalikan pergerakan-pergerakan tubuhnya serta keterampilan untuk menguasai peralatan-peralatan/ benda-benda (objek).

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan koordinasi fisik dan mata yang baik, keseimbangan tubuh, dan keterampilan jari-jemari seperti penari, guru olahraga, penjahit, atlit, dan perawat.

5. Kecerdasan Musikal (Musical intelligence), yaitu kemampuan untuk menciptakan dan mengapresiasi ritme, tangga nada, dan warna nada.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan untuk peka terhadap suara, ritme, dan hubungan antara suara dan perasaan seperti musisi, composer, dirigen, produser musik, dan penyanyi.

6. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal intelligence), yaitu kapasitas untuk mengenali dan merespon suasana hati, motivasi/tujuan, serta hasrat orang lain dengan tepat.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, dan memahami situasi dan kondisi mereka seperti psikolog, konselor, politisi, marketing, dan guru.

7. Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal intelligence), yaitu kapasitas untuk menyadari keseluruhan diri sendiri, dan menyatu dengan perasaan-perasaan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan proses berpikir dalam diri.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan penilaian yang objektif dan pengendalian diri seperti pengajar, penulis, konselor, filsuf, dan rohaniwan.

8. Kecerdasan Natural (Naturalist intelligence), yaitu kemampuan untuk mengenali dan mengelompokkan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan benda/objek lain yang ada di alam.

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan pengenalan akan alam, kepekaan dalam merawat dan melestarikan alam seperti aktivis lingkungan hidup, petani, peternak, dokter hewan, dan polisi hutan.

9. Kecerdasan Eksistensial (Existential intelligence), yaitu sensitivitas dan kapasitas untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai eksistensi manusia, seperti “Apa tujuan hidup ini?”, “Mengapa kita mati?”, “Bagaimana kita bisa hidup di dunia ini?”

Kecerdasan ini biasanya banyak ditemukan pada profesi-profesi yang memerlukan kemampuan mengenai konsep-konsep abtrak tentang kehidupan dan keberadaan manusia seperti filsuf, dan rohaniwan.

Meski pada perkembangannya mungkin masih banyak ditemukan berbagai jenis kecerdasan lainnya, namun setidaknya hal ini cukup membuktikan bahwa kecerdasan seseorang tidak hanya dapat diukur berdasarkan kemampuan berhitung atau memahami rumus saja. Masih ada begitu banyak kecerdasan manusia yang masih bisa digali dan dikembangkan demi kepentingan diri sendiri dan banyak orang. Semoga semakin banyak orangtua yang peka terhadap kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki oleh anak-anaknya, sehingga kemampuan anak bisa dikembangkan dengan tepat sesuai dengan potensi mereka.

 

Membacakan Buku Untuk Anak

Membacakan Buku Untuk Anak

Membacakan buku untuk anak sering kali menjadi saran yang diberikan untuk menstimulasi perkembangan anak, terutama pada anak prasekolah. Buku yang dibacakan pun bervariasi, tergantung kegemaran anak. Ada anak yang senang dibacakan cerita mengenai putri dongeng, cerita para nabi dan sahabatnya, cerita tentang binatang dan tumbuhan, cerita tentang kehidupan mainan, bahkan ada anak yang senang dibacakan buku berisi fakta-fakta tentang binatang tertentu yang menjadi ketertarikannya.

Kenapa ya, membacakan buku sering dijadikan saran untuk menstimulasi perkembangan anak? Sebenarnya, apa saja sih manfaat membacakan buku untuk anak? Berikut adalah beberapa manfaat membacakan buku untuk anak:

1. Meningkatkan pengetahuan

Dengan banyak dibacakan buku, tentu saja pengetahuan anak akan meningkat. Ia akan memperoleh pengetahuan mengenai berbagai hal yang mungkin belum pernah ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan dibacakan buku, mereka jadi tahu bahwa dulu di Bumi ini pernah hidup berbagai jenis dinosaurus, mereka jadi tahu bahwa ratu berpasangan dengan raja, dan pengetahuan lainnya.

2. Meningkatkan kemampuan berbahasa

Melalui buku, anak mengenal berbagai kosa kata, sehingga dapat ia manfaatkan untuk berkomunikasi sehari-hari. Anak juga belajar untuk menyusun kalimat dengan lebih lengkap agar mudah dipahami oleh orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hargrave dan Sénéchal (2000) mengungkapkan bahwa kemampuan berbahasa anak semakin meningkat ketika ia diajak terlibat aktif ketika buku dibacakan. Misalnya anak diajak untuk menebak kejadian berikutnya, atau diminta bercerita tentang apa yang ia ketahui mengenai sesuatu, memintanya mengeluarkan suara-suara tertentu, serta kegiatan lainnya.

3. Membangun relasi yang positif dengan anak.

Berbagai penelitian, salah satunya yang dilakukan oleh Andriana G. Bus dan rekannya, menunjukkan bahwa anak yang dibacakan buku secara rutin setiap hari oleh orang tuanya memiliki hubungan yang positif dengan orang tua mereka. Ketika anak dipeluk atau dirangkul sambil membacakan buku, ia merasakan kedekatan dan kehangatan dari orang tua mereka. Ia pun dapat lebih sering berkomunikasi sambil membahas hal-hal yang terkait dengan buku yang dibacakan.

4. Meningkatkan minat membaca

Ketika anak sering dibacakan buku, ia pun akan mulai tertarik dan ingin bisa membaca sendiri buku tersebut. Minat membaca ini juga akan semakin meningkatkan ketika anak mengalami bahwa membaca buku adalah sesuatu yang menyenangkan.

5. Meningkatkan kemampuan membaca

Anak akan lebih mudah untuk belajar membaca ketika ia memiliki kosa kata yang banyak. Ia akan lebih mudah mengenal dan memahami bentuk suatu kata ketika ia memahami makna dari kata tersebut. Sama halnya dengan kita yang lebih mudah dan lebih cepat ketika membaca kata-kata yang sudah sering kita dengar daripada ketika kita membaca kata-kata yang baru kita dengar.

6. Melatih anak untuk memusatkan dan mempertahankan perhatian

Membacakan cerita juga dapat melatih anak untuk memusatkan dan mempertahankan perhatiannya untuk mendengarkan dan memahami cerita tersebut. Tidak hanya memusatkan dan mempertahankan perhatiannya untuk memahami alur cerita, anak juga dapat diajak untuk mengingat tokoh-tokoh dalam cerita, tempat dan waktu kejadian dalam cerita, perasaan yang dialami tokoh dalam cerita, serta hal-hal lainnya. Biasakan juga untuk mengajak anak menceritakan kembali cerita tersebut atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dalam cerita.

7. Meningkatkan pemahaman mengenai situasi sosial dan media untuk mengajarkan nilai-nilai.

Cerita yang dibacakan untuk anak dapat menjadi salah satu media pembelajaran bagi anak mengenai berbagai situasi sosial, terutama situasi sosial yang belum pernah dihadapinya sehari-hari. Dengan membahas cerita tersebut bersama anak, ia dapat belajar mengenai hubungan sebab akibat, misalnya mengapa suatu kejadian terjadi. Anak dapat diajak mempelajari apa yang seharusnya dilakukan pada situasi tertentu. Selain itu, ia juga dapat diajak untuk mengenali dan memahami perasaan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Anak-anak dapat diajak untuk menarik pembelajaran dari cerita, serta dapat menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai moral pada anak.

8. Meningkatkan kreativitas anak

Hal yang tidak kalah penting adalah anak dapat meningkatkan kreativitasnya. Jika ia sering diajak untuk mengarang sendiri lanjutan ceritanya, anak akan berusaha memunculkan kreativitasnya untuk membuat cerita yang menarik. Bahkan, anak mungkin akan dapat membuat cerita karangannya sendiri. Kreativitas anak dapat meningkat dengan membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan isi buku yang dibacakan, misalnya membayangkan ukuran dinosaurus, bentuk istana, dan sebagainya.

Kira-kira, apa lagi ya, manfaat membacakan buku untuk anak? Ada yang pernah merasakan manfaat lainnya? Silahkan berbagi pengalaman dan manfaat yang diperoleh!

Mari membiasakan diri untuk membacakan buku untuk anak-anak secara rutin.

 

 

Sumber bacaan:

  • Hargrave, A. C., & Sénéchal, M. (2000). A book reading intervention with preschool children who have limited vocabularies: the benefits of regular reading and dialogic reading. Early Childhood Research Quarterly, 75-90.
  • Verhoeven, Ludo; Snow, Catherine E; (editor). (2001). Literacy and Motivation: Reading Engagement in Individuals and Groups. London: Lawrence Erlbaum Associate, Inc.
Bermain di Alam Yuk!

Bermain di Alam Yuk!

Mengajak anak usia dini untuk bermain dengan lingkungan sekitarnya diperlukan agar pengetahuan anak usia dini terhadap lingkungan bertambah. Kegiatan bermain di alam akan mendorong semangat anak untuk peka dengan apa yang dilihat di alam sekitarnya. Pengenalan alam sekitar memberikan manfaat yang cukup besar bagi tumbuh dan kembang pada anak.

Nilai-nilai yang terkandung pada lingkungan dapat digunakan sebagai media bermain anak usia dini. Lingkungan yang ada disekitar anak merupakan salah satu sarana belajar yang dapat di optimalkan untuk pencapaian proses dan hasil tumbuh dan kembang yang berkualitas bagi anak. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari.

Jumlah sumber daya yang digunakan untuk bermain tersedia di lingkungan dengan kapasitas yang tidak terbatas. Dengan sumber media belajar yang tidak terbatas anak juga dapat mengoptimalkan potensi panca indranya untuk berinteraksi dengan lingkungan.

Untuk itu ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan bersama anak dengan alam sebagai media bermainnya.

1. Mencampur playdough dengan tumbuhan yang dapat menghasilkan warna alami

Dalam permainan ini, anak dapat bermain dengan playdough yang dapat merangsang sensorik pada tangan. Selain itu dengan beragam warna yang bisa dicampur dan didapat berasal dari daun yang berwarna hijau, warna jingga dari kunyit, bunga lavender dengan warna ungu, dan warna merah yang didapat dari bunga mawar. Dengan penambahan warna tersebut anak mendapat pembelajaran dalam pengenalan varian warna.

2. Bermain tanah

Selain bermanfaat sebagai media pengembangan kognitif pada anak, bermain tanah akan menciptakan kenangan indah dengan alam dan membuat mereka belajar melindunginya hingga dewasa.

3. Bermain

Bermain di alam merupakan salah satu cara pereda stres yang ampuh bagi anak dan Anda sendiri. Kadang perubahan pemandangan dan penempatan kondisi lingkungan dapat mengatasi rasa bosan pada anak. Selain itu anak mampu meningkatkan motorik kasar dengan berjalan, memanjat, meluncur, berayun pada pohon, dan segala macam kegiatan yang mengajarkan keterampilan motorik.

4. Berolahraga

Anak dapat bermain sambil berolahraga di alam terbuka. Dengan olahraga di ruang terbuka anak mendapatkan udara yang lebih segar serta asupan oksigen yang lebih banyak dari kadar oksigen lebih tinggi yang dihasilkan dari tumbuhan di sekitar. Dari hal tersebut anak akan menjadi lebih rileks dan sehat

Menyemai Bibit Kerja Keras Pada Diri Anak (Part 2)

Menyemai Bibit Kerja Keras Pada Diri Anak (Part 2)

Pengetahuan tentang kemampuan anak sesuai usia perkembangannya diperlukan agar intervensi yang diberikan tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan anak. Usia perkembangan anak yang berbeda tentu berdampak pada tugas perkembangan yang juga berbeda. Tugas perkembangan yang mesti dipenuhi anak pada usia tertentu ini selalu berada dalam rentang, tidak mutlak pada satu usia. Hal ini adalah bentuk pemahaman atas keunikan anak. Contohnya pada panduan tumbuh kembang anak, usia normal anak bisa berjalan adalah pada rentang 11-18 bulan, tidak mutlak pada usia 12 bulan harus bisa berjalan.

Stimulasi tentang pentingnya kerja keras pada anak usia dini (pra sekolah) juga mesti memperhatikan rentang usia anak, mempertimbangkan kemampuan yang dikembangkan anak pada usia tertentu. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menyemai bibit kerja keras pada anak pra sekolah sesuai dengan usia perkembangannya.

1) Fokuslah selalu pada proses. Berikan penghargaan pada usaha anak melakukan sesuatu. Misalnya pada seorang anak usia 4 tahun yang berkali-kali mencoba memasukkan bola ke dalam keranjang berikan apresiasi karena ia mau terus mencoba.

2) Libatkan anak dalam menyelesaikan kesulitan, tidak melulu membantunya. Anak perlu mengembangkan kemampuan penyelesaian masalah, tidak dibantu terus menerus. Jikapun akan dibantu, maka berikan saran dan biarkan anak melakukannya. Misalnya anak berusia 3 tahun yang kesulitan mengambil buku di rak. Berikan saran sangat diperbolehkan, misalnya: “Sepertinya kamu tidak bisa ambil bukunya karena tinggi ya? Bagaimana kalau kamu tarik kursi itu dan naik diatasnya, sepertinya bukunya bisa diambil. Atau kamu ada cara lain?”

3) Jadilah contoh. Ketika ingin anak memiliki semangat bekerja keras, maka semestinya orang dewasa di sekeliling anak, terutama orang tua, mesti bisa dilihat sebagai sosok yang suka bekerja keras, tidak menggampangkan sesuatu hal. Anak pra sekolah bertingkah laku dengan meniru dan melihat tingkah laku orang-orang yang sering berinteraksi dengannya.

4) Bercerita tentang tokoh-tokoh yang hidupnya memiliki semangat kerja keras, akan sangat membantu ketika tokoh-tokoh tersebut berada dibidang yang sedang dia sukai atau yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Jika anak usia 6 tahun menyukai olahraga sepakbola misalnya, ceritakan biografi seorang pemain sepakbola yang senantiasa disiplin dalam latihan, tentang perjuangan dan kerja keras yang dilakukan pemain tersebut.

5) Dampingi anak ketika merasa gagal. Anak usia 6 tahun masih wajar untuk sulit untuk menerima kekalahan dan akan sulit pula menerima kritikan. Dampingi mereka yang merasa dirinya kalah, biarkan dia melepaskan frustrasinya karena kekalahan yang baginya terasa menyakitkan. Kekalahan ini tidak selalu kalah dalam perlombaan, namun bisa saja karena merasa tidak bisa mewarnai serapi teman-teman yang lain. Mungkin saja dia tidak bisa jadi anak yang berani bermain flying fox seperti teman yang lain. Tunjukkan dan katakan bahwa kita tetap menyayanginya. Jika sudah tenang, bantu ia untuk bangkit dari keterpurukannya, dengan cara yang sesuai dengan karakteristiknya. Temukan strategi dan cara supaya ia bisa kembali percaya pada kemampuan dirinya serta kembali bersemangat mencoba.

6) Kerja keras adalah hal menantang yang menyenangkan. Selalu mulailah segala sesuatu dari hal yang dirasa sudah dikuasai anak, kemudian secara bertahap berikan tugas yang lebih sulit. Pengalaman berhasil dalam melakukan sesuatu merupakan hal penting bagi anak. Misalkan saja ketika bermain puzzle, mulai dari 4 keping puzzle, pastikan anak menikmati proses penyelesaian puzzle, baru beralih kepada puzzle 6 keping misalnya. Media belajar sambil bermain merupakan cara yang efektif bagi anak belajar keterampilan baru.

Catatan: Kerja keras merupakan nilai positif yang akan turut andil dalam meningkatkan daya juang anak menghadapi segala sesuatu dalam kehidupannya sekarang dan di masa yang akan datang. Jangan ambil kesempatan anak untuk belajar dari kesulitan-kesulitan yang didapatkan. Kenali dan manfaatkan kelebihan pada diri anak untuk memfasilitasi semangat kerja kerasnya.

Sumber bacaan: Robinson, Maria. (2008) Child Development 0-8 A Journey throughThe Early Years. London:McGrawHill

Menyemai Bibit Kerja Keras Pada Diri Anak (Part 1)

Menyemai Bibit Kerja Keras Pada Diri Anak (Part 1)

Setiap orang tua menginginkan hal yang terbaik bagi anak-anaknya, dalam semua bidang kehidupan anak. Ketika menggendong bayi yang baru lahir, rasanya terlihat begitu rentan. anak-anak yang baru lahir ini menumbuhkan perasaan “dibutuhkan” pada diri orang tua. Ada perasaan ingin memberikan seluruh isi dunia kepada anak. Semua kenyamanan diberikan kepada makhluk suci yang dianugerahkanNya. Terpatri pula harapan dan doa orangtua agar anak-anak bisa menjadi lebih baik kehidupannya dibandingkan kehidupan orang tua. Semua cinta dan rasa peduli tercurah sepenuhnya untuk kenyamanan anak. Pada beberapa orangtua ada keinginan untuk tidak membiarkan anak mengalami “kesulitan” seperti yang mereka rasakan di masa lalu. Pada kadar yang wajar, hal ini memang membuat anak merasa dicintai dan nyaman. Pada kadar yang sedikit saja berlebih, kenyamanan kemudian bisa menjadikan anak sulit untuk memahami makna dari kerja keras, untuk menyadari pentingnya berjuang mencapai apa yang diinginkan.

Jika ia bisa dengan mudah mendapatkan keinginannya, ia tidak mendapatkan kesempatan untuk berusaha keras, maka ia tidak belajar untuk berjuang mencapai apapun kelak dalam kehidupannya. Selain berusaha dan bersemangat dalam bekerja untuk masa depan anak yang lebih baik, semestinya orangtua pun perlu bersemangat dalam menumbuhkembangkan kebiasaan anak untuk bekerja keras, sehingga menjadi anak yang tangguh dan tidak mudah menyerah dengan apapun kesulitan yang sedang dan akan dihadapinya. Penyediaan fasilitas fisik yang memadai bagi anak adalah hal yang boleh saja dilakukan, dan disisi lain memperhatikan kemauan bekerja keras akan memberikan efek positif bagi perkembangan psikologis anak.

Hal pertama yang dilakukan untuk bisa menyemai bibit kerja keras pada diri anak adalah dengan memperhatikan perkembangan anak berdasarkan rentang usianya. Pada anak usia 3-5 tahun, anak memiliki keinginan untuk berhasil, untuk menjadi yang terbaik (Robinson, 2008). Sementara itu pada rentang usia 5-8 tahun, anak masih kesulitan untuk menghadapi kritik ataupun menerima kegagalan. Mereka memerlukan dukungan orang dewasa untuk mengatasi perasaan-perasaan tersebut (Robinson, 2008).