Pos

Ramadan dan Balita

Ramadan dan Balita

Sebagai salah satu kegiatan rutin setiap tahun, melakukan puasa di Bulan Ramadan adalah bentuk ibadah yang wajib hukumnya bagi umat islam. Keberkahan bulan ini dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya umumnya membuat perbedaan aktivitas beribadah dalam keluarga muslim menampakkan perbedaan, seperti aktivitas sahur, berbuka puasa, shalat tarawih, witir, dan bertadarus. Belum lagi aktivitas kemanusiaan seperti bersedekah, zakat, dan berbuat kebaikan-kebaikan lainnya.

Dalam keluarga dengan anak pada umumnya dan anak prasekolah khususnya (kurang dari 7 tahun) pengenalan tentang Ramadan merupakan hal yang jamak dilakukan. Ada berbagai cara baik yang bisa dilakukan sebagai dasar bagi anak untuk bisa mengikuti kegiatan di Bulan Ramadan.

Hal paling pertama yang mesti disadari adalah tidak ada kewajiban berpuasa untuk anak karena belum menginjak usia baligh (hukum dalam Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan). Seorang anak dilatih untuk berpuasa dipandang sebagai pembiasaan untuk kemudian bisa melakukannya saat kewajiban tersebut sudah harus mereka tunaikan. Jika berbicara tentang latihan, maka ada prinsip-prinsip yang mestinya menjadi pengingat tentang bagaimana pelaksanaan latihan tersebut sehingga bisa dikatakan sukses. Pembahasan kali ini akan berfokus pada khusus pelaksanaan ibadah puasa.

  1. Mencontohkan.
    Anak pada umumnya dan balita khususnya adalah peniru dari lingkungan terdekat mereka, dalam hal ini adalah keluarga. Oleh karena itu bagaimana suatu keluarga menjalankan ibadah akan menjadi contoh bagi mereka dalam menjalankan ibadahnya. Ketika suatu keluarga mencontohkan ibadah puasa dengan sahur dan berbuka secukupnya, maka kemungkinan besar itulah yang akan mereka lakukan. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik berkaitan dengan ibadah.
  2. Menjawab Pertanyaan-pertanyaan.
    Ibadah puasa adalah salah satu sarana bagi anak untuk bertanya tentang hal yang ada di sekelilingnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “apa itu puasa?”, “kenapa berpuasa?”, “kenapa ibu puasanya tidak penuh seperti ayah?”, “puasa kok ngga bikin meninggal padahal ngga makan dan minum?”, dan lain sebagainya, adalah media tepat bagi orang tua untuk menjalin kedekatan dengan anak, menjadikan diri sebagai pihak yang ditanyai anak ketika mereka tidak mengetahui sesuatu. Jawaban yang diberikan mestinya menjadi jembatan terbuka dan terpeliharanya komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Hal ini menjadi kesempatan bagi orang tua untuk terus belajar tentang pelaksanaan ibadah sehingga bisa menjadi lebih baik dari tahun ke tahun.
  3. Anak adalah pahlawan dirinya sendiri.
    Menjelaskan di Bulan Ramadan ini sebagai cara untuk senantiasa rendah hati dan merasakan bagaimana kelaparan adalah hal yang abstrak bagi anak sehingga bisa membuat anak gagal paham. Pola pikir anak yang bersifat konkrit perlu direspon pula dengan jawaban yang konkrit dan lebih bisa mereka pahami. Bagi anak, sifat baik dan buruk masih merupakan dikotomi yang sangat jelas perbedaannya seperti melihat hitam dan putih. Menghayati pengertian baik dan buruk dalam perspektif anak merupakan salah satu cara untuk menjelaskan mengenai ibadah di Bulan Ramadan. Bisa dijelaskan kepada anak bahwa tubuhnya memiliki pahlawan yang terus berjuang melawan bibit penyakit setiap hari. Pada saat berpuasa, pahlawan-pahlawan tersebut sedang beristirahat dan recharge energy karena mereka tidak perlu waspada lagi dengan musuh penyakit yang datang bersama makanan dan minuman. Hal ini pada akhirnya membuat anak merasa dirinya adalah pihak aktif dalam melawan musuh-musuh.
  4. Kegiatan-kegiatan mengisi waktu di Bulan Ramadan.
    Anak memiliki sifat spontan sekaligus mudah dialihkan. Merupakan hal yang wajar saat sedang berpuasa mereka spontan mengeluh lapar dan haus apalagi ketika merasa bosan. Membuat kegiatan-kegiatan pengisi waktu merupakan hal yang bisa mengalihkan keinginan untuk makan dan minum, seperti kegiatan-kegiatan yang memang mereka senangi. Usaha orang tua untuk memfasilitasi anak menemukan dan melakukan kegiatan-kegiatan pengisi waktu pada dasarnya bisa digunakan sebagai bahan diskusi dengan anak tentang menunda keinginan sampai waktu yang dijanjikan tiba. Menunda waktu membeli mainan sampai saat yang diperbolehkan, menunda makan makanan ringan sampai waktu yang diijinkan, dan contoh menunda hal-hal lainnya. Bagaimana perasaan mereka saat harus menunda, bagaimana perasaan mereka saat berhasil menunda. Sehingga hakikat menunda keinginan sampai saat yang tepat tiba merupakan latihan yang bisa diberikan kepada anak, sekaligus sebagai bahan orang tua juga untuk bercermin dari pelaksanaan ibadah puasa.
  5. Pemberian hadiah.
    Pada anak usia akhir balita (5-6 tahun), ada beberapa anak yang bisa menyelesaikan puasa sampai akhir, yang membuat sukacita orang tua sehingga memberikan hadiah. Hadiah bisa dipandang sebagai hal yang membuat anak bersemangat berpuasa dan sebagai motivasi yang sifatnya eksternal. Namun semestinya dilakukan dengan hati-hati dan bijak dengan melihat kemampuan anak. Boleh saja menargetkan anak bisa puasa penuh 10 hari, 20 hari, atau selama Bulan Ramadan, setelah menanyakan kesiapan dan melihat perjuangan anak memenuhi targetnya tersebut. Terutama sekali perlu diingatkan bahwa berhasil atau tidaknya mereka tidak menjadikannya merasa lebih baik dari teman-teman sebayanya yang belum penuh berpuasa ataupun yang tidak puasa sama sekali. Oleh karena itu mesti pula dihindari kalimat yang menyemangati anak berpuasa dengan membandingkannya dengan anak lain yang sudah bisa berpuasa sampai saat berbuka tiba. Harus ada “hadiah” ketika mereka yang menargetkan puasa 10 hari, ternyata hanya bisa 3 hari, sehingga tidak mengalami kecewa yang tidak perlu. Hadiah yang “aman” untuk diberikan kepada anak contohnya menyediakan makanan favorit anak saat berbuka, pelukan, dan ucapan apresiatif tulus tentang momen perjuangannya menahan haus dan lapar sampai saat berbuka tiba. Misalnya saat ia berjuang mengalahkan kantuk untuk makan sahur bersama atau saat ia tidak mengeluh lapar dan haus.
  6. Tujuan akhir.
    Bagi anak usia balita sampai prasekolah, puasa di Bulan Ramadaan sebaiknya bertujuan untuk latihan dan pembiasaan anak melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh agama, dengan memperhatikan fitrah mereka, tidak mengurangi kegembiraan dalam masa kanak-kanak mereka. Oleh karena itu ketika ada yang bisa berpuasa sampai selesai (sampai waktu berbuka tiba), hal itu adalah bonus. Namun yang paling penting adalah mereka mengenal dan menghayati bahwa Bulan Ramadan adalah bulan yang menyenangkan. Saat mereka bisa makan makanan favorit mereka, saat bisa intens berkomunikasi dengan orangtua, mereka bisa merasakan dipeluk dan digendong untuk membasuh muka sebelum makan sahur, saat mereka bisa membuktikan diri kalau mereka bisa menunda untuk makan dan minum sampai saatnya tiba kemudian diberikan apresiasi tulus dari orang tua.

Bagi anak balita, momen Ramadan bisa menjadi momen mereka meningkatkan kelekatan dan kehangatan hubungan dengan orang tua dan anak. Berbagai modifikasi yang dilakukan orang tua seperti boleh berbuka setelah Azan Zuhur, boleh sahur sampai jam 6 pagi, dan lain sebagainya bisa saja dilakukan karena intinya adalah ada penundaan pemuasan kebutuhan makan dan minum mereka serta menghargai proses mereka ikut bergembira di bulan penuh rahmat.

Pengekspresian emosi pada Balita, perlukah?

Pengekspresian emosi pada Balita, perlukah?

Pada pengertian awam, emosi sering dipadankan katanya dengan amarah, ngamuk, menggebrak meja, mata melotot, suara tinggi, yang diakibatkan karena tidak suka dengan perilaku atau kata-kata yang ditujukan pada dirinya. Jika ditilik dari pengertiannya, padanan kata itu tidak sepenuhnya benar. Emosi mengacu kepada kepada karakteristik seseorang untuk bereaksi terhadap sesuatu hal, pada kondisi tertentu. Rasa bangga, rasa senang, sebenarnya adalah juga bentuk emosi selain dari rasa marah. Emosi yang positif akan berdampak pada kesehatan, sementara emosi yang negatif akan berhubungan dengan sakit atau kondisi fisik yang tidak sehat. Emosi merupakan sesuatu yang kompleks, berpola, merupakan reaksi manusia terhadap apa yang manusia lakukan dalam hidup, yang dengannya manusia bisa bertahan dalam kehidupan dan mendapatkan apa yang diinginkan (Lazarus, 1991).

Jika melihat pada status manusia sebagai makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lainnya, maka perhatian terhadap perkembangan emosi pada anak merupakan salah satu fokus penting dalam evaluasi perkembangan anak, apakah sesuai dengan usia nya, ataukah ada keterlambatan ataupun gangguan yang memerlukan intervensi tertentu dengan tentu saja melihat karakteristik anak sebagai individu yang khas. Tabel di bawah menunjukkan perkembangan emosi anak dari 0-4 tahun (Boyd & Bee, 2010)

      USIA                                       PERKEMBANGAN EMOSI
0-1 bulan Pada usia ini bayi telah bisa memberikan ekspresi ketertarikan, sakit, jijik, dan ekspresi senang
1-4 bulan Ekspresi marah dan sedih terlihat pada bayi usia 2-3 bulan. Pada usia ini bayi juga telah bisa membedakan ekspresi emosi yang berbeda terhadap orang yang berbeda. Dia bisa menunjukkan ekspresi senang terhadap ibunya, dan ekspresi marah terhadap orang lain misalnya.
4-8 bulan Pada rentang usia ini, bayi mulai menunjukkan rasa cemas, takut, ketika berpisah, ketika bertemu dengan orang asing, orang yang tidak dikenalnya. Bahkan pada usia 6-7 bulan, bayi telah bisa menunjukkan ekspresi takut.
8-12 bulan Bayi mulai menunjukkan ketertarikan lebih dengan lingkungannya, senang mengundang senyum orang-orang yang berada di sekitarnya
12-18 bulan Pada usia ini, ketakutan untuk bertemu dengan orang asing mulai berkurang, demikian juga ketakutan untuk berpisah dengan figur yang dikenal
18-24 bulan Anak mulai menunjukkan ekspresi bangga, malu, ataupun sungkan.
2-4 tahun Anak mulai mengidentifiaksi identitas kelamin (laki-laki dan perempuan) pada usia 2 tahun yang terus berkembang dan menguat pada usia 4 tahun, cenderung untuk bermain bersama dengan anak yang jenis kelaminnya sama, serta bisa diintervensi temperamennya

 

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan ekspresi emosi bayi/anak merupakan hal yang normal bahkan penting untuk dilihat perkembangannya.

Berbagai bentuk penanganan ekspresi emosi pada anak:

  • Bayi yang berusia 7 bulan menangis ketika ditinggalkan orang tua. Hal paling mudah yang dilakukan adalah dengan tidak membuat anak menangis dengan cara pergi diam diam. Jika dilihat pada perkembangan emosinya (pada tabel), merupakan hal yang normal pada bayi untuk merasa cemas ditinggal oleh orang terdekat dengannya. Jadi, jika anak Anda menangis ketika Anda tinggalkan, bahwa di titik tersebut adalah tanda bagi anak Anda, Anda adalah orang yang dekat dengannya, yang membuatnya nyaman, bersyukurlah dengan hal tersebut. Akan tetapi dengan pergi diam-diam supaya tidak membuatnya menangis adalah cara yang kurang tepat, karena dengan begitu orang dewasa ‘mengajarkan’ pada anak untuk menghindari kecemasan, bukan untuk menghadapi apa yang membuatnya cemas. Kecemasan adalah hal yang tidak membuat nyaman, namun kita bisa mengajarkan anak untuk menghadapi kecemasannya dan ketidaknyamanannya tersebut, bukan dengan menghindarinya. Secara filosofis, bukankah kita ingin anak tahu caranya menghadapi permasalahan, bukannya lari dari permasalahan. Pamit seperlunya, peluk, dan katakan kapan akan kembali dan lambaikan tangan. Anak perlu melihat Anda pergi seperti juga ia perlu melihat Anda kembali dan menghabiskan waktu dengannya saat kembali, bukan sebagai penebus rasa bersalah karena sudah Anda tinggalkan untuk sementara waktu, namun karena luapan kasih sayang untuk bersama dengannya. Pada usia ini anak akan menangis, namun dia juga bisa dialihkan dengan kegiatan lain bersama orang yang Anda percayai.
  • Beberapa anak memiliki rasa takut bertemu untuk orang yang baru dikenalnya, beberapa anak butuh waktu untuk bisa bersalaman, mengobrol, ataupun bermain bersama dengan orang baru. Jika anak merasa takut, kurang tepat mengatakan kepadanya untuk tidak takut, tapi lebih baik jika sebagai orang tua, kita pahami bahwa dia takut. Pada anak usia 8 bulan yang merasa takut bertemu dengan orang yang baru dikenalnya, hal tersebut adalah hal yang normal (lihat tabel). Yang perlu dilakukan adalah dengan tidak ‘memaksa’ anak untuk tidak takut, namun berikan waktu pada anak untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Jika anak berusia 2 tahun misalnya, kita bisa mengintervensi dengan menyatakan bahwa kita tahu bahwa dia takut. Hal ini membantu anak mengenal emosi yang dia rasakan dan juga memberikan kepercayaan pada anak untuk dapat berbaur dengan kondisi yang baru dialaminya. Sebagai orang dewasa, kita bisa memfasilitasi anak 2 tahun untuk memberi nama hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, apakah itu rasa takut, marah, sedih, ataupun bentuk ekspresi emosi lainnya. Kenalkan berbagai nama emosi tersebut yang sama kongkritnya dengan cara mengenalkan anggota tubuh kepada anak. Jika pengenalan anggota tubuh bisa dilakukan dengan meminta anak menunjukkan mata, hidung, kepala (kurang lebih usia 1 tahun), maka pengenalan emosi juga bisa dilakukan dengan meminta anak menunjukkan ekspresi muka tertentu (sedih, senang, marah) dimulai pada usia 18 bulan. Pengenalan ekspresi secara bertahap mulai dikenalkan dengan kompleks, seperti malu, bangga, takut, dan seterusnya.
  • Jika ada anak laki-laki, 3 tahun, menangis ketika merasa sakit, saat terjatuh, saat menolak untuk bermain di tempat tinggi. Tak perlu melarangnya untuk menangis, untuk berpendapat bahwa laki-laki tidak boleh cengeng. Menangis adalah ekspresi emosi normal yang disebabkan karena ketidaknyamanan, mungkin takut, mungkin sedih, mungkin karena sakit. Tidak masalah anak lelaki menangis, karena tidak ada teori yang mengatakan laki-laki kuat adalah laki-laki yang jarang menangis. Jika memang perilaku menangisnya dianggap terlalu sering, maka berikan alternatif lain baginya untuk menyalurkan emosi, misalnya dengan menarik napas panjang, dipeluk oleh anda, diminta beristirahat dahulu sampai sakitnya hilang, dan sebagainya. Pada usia 3 tahun modifikasi terhadap perkembangan emosi telah bisa dilakukan (lihat tabel). Tak apa jika anak mengekspresikan marah, namun yang perlu dilihat apakah ekspresi marah tersebut bisa membahayakan dirinya, membahayakan orang lain, atau menyebabkan ada yang terluka. Bukan marah yang perlu diintervensi dari anak, tapi bagaimana dia secara adaptif menyalurkan kemarahannya. Ketika dia tidak suka dengan keputusan Anda, marah dengan menghentakkan kaki dan membanting pintu kamar adalah hal yang relatif bisa diterima dibandingkan dengan dia, misalnya dengan anak merusak barang-barang disekitarnya. Orang tua juga perlu memandang ekspresi emosi anak bukanlah sebagai tanda bahwa anak menjadi durhaka, namun karena anak butuh pengekspresian emosi yang ‘sehat’. Memendam amarah, memelihara kecemasan, tidak mempedulikan rasa takut, bukanlah perkembangan emosi yang “sehat” bagi anak.

 

Kesimpulan  

  1. Balita perlu dikenalkan dengan ‘nama’ emosi. Semakin mengenal banyak ‘nama’ emosi, maka anak akan makin mengenal dirinya, karena perkembangan emosi erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak berdasarkan pada usianya.
  2. Perhatikan usia perkembangan anak untuk melihat perkembangan emosi yang sesuai dengan usia perkembangannya. Stimulasi anak untuk mengekspresikan emosi sesuai usianya, berikan intervensi dan waspadai ketika anak menunjukkan emosi tertentu yang tidak sesuai dengan usia perkembangannya, ataupun tidak menunjukkan emosi yang semestinya ada pada usia perkembangannya.
  3. Fasilitasi anak untuk mengenal berbagai emosi (marah, takut, sedih, senang, bahagia, bangga, malu), dan selanjutnya arahkan anak untuk mengeskpresikan emosinya dengan adaptif, sehingga tidak membahayakan dirinya, membahayakan orang lain, apalagi kemudian merusak barang-barang.
  4. Perkembangan emosi balita yang terfasilitasi dengan baik menjadi salah satu cara anak kemudian memiliki kecerdasan emosional yang akan membantunya dalam bersosialisasi dan memperlakukan orang lain dan dirinya dengan patut.

 

Sumber :

  • Lazarus, Richard (1991). Emotion and Adaptation. New York: Oxford University Press, Inc
  • Bee, Helen & Boyd, Denise (2010). The Growing Child. Boston: Allyn & Bacon