Kisah Dampak Pembangunan Anak Usia Dini di Pagelaran dan Sukanagara
Setiap pelaku program pembangunan masyarakat pasti akan mengharu biru ketika melihat perubahan positif terus berkembang, walaupun program telah berakhir bertahun lamanya.
Perasaan itulah yang saya rasakan ketika bertandang ke Cianjur wilayah selatan pada hari Minggu, tanggal 4 Februari 2018. Saya bertemu orang-orang yang dulu demikian akrab bekerja bersama untuk menjalankan program pembangunan anak usia dini berbasis pemberdayaan masyarakat, dari tahun 2010 sampai tahun 2015.
Kami – saya, Irwan Hermawan, Ari Hadyan Mustamsik, dan Sarah Nurmala – datang ke Desa Karangharja, Kecamatan Pagelaran atas undangan hajatan khitanan putra bungsu Pak Apen, mantan ketua FP3 (Forum Pendukung PAUD dan Posyandu) Karangharja. Pak Apen sudah mengabari jauh-jauh hari bahwa beliau juga mengundang kader-kader dan anggota FP3 dari desa lain.
Program yang dijalankan Yayasan IBU dan AWO Internasional telah berakhir empat tahun lalu di Kecamatan Pagelaran dan tiga tahun di Kecamatan Sukanagara. Namun, ketika saya bertemu dengan para kader dan tokoh FP3 yang sama-sama hadir dalam hajatan, rasanya waktu kembali ke masa-masa itu.
Memang, semua orang sudah bertambah usianya. Ada beberapa tampilan fisik yang berubah, terutama dari ukuran berat badan. Saya, Ari, Irwan, Teh Ros, Azis, jelas-jelas bertambah gemuk dibanding dulu. Hanya saja, tawa, nada bicara, keakraban, tetaplah sama. Sorot mata dan luapan rasa rindu yang terbentuk dari bentangan jarak dan waktu tumpah ruah di ruang keluarga rumah Pak Apen. Hangat betul rasanya.
Setelah bertukar kabar tentang keadaan masing-masing, percakapan melaju pada hal-hal terkait dampak program pembangunan anak usia dini. Suara musik dan lantunan lagu dangdut di acara hajatan mengiringi percakapan kami. Tetapi, saking terpusatnya perhatian pada percakapan, suara-suara itu tak mengganggu kami untuk terus bercerita.
Trio kwek-kwek, begitu istilah Teh Sri Widiawati alias Teh Cici terhadap tiga kader PAUD di Selagedang – Teh Ros, Teh Cici, Bu Eem – bergantian mengabarkan perubahan. Teh Ros, Bu Eem, dan Teh Cici menyebutkan kata alhamdulillah berkali-kali. Semua PAUD di Selagedang tetap aktif berfungsi dan menyelenggarakan pelayanan. PAUD yang dikelola oleh Bu Eem, yang dulu menerima bantuan bangunan semi permanen dari 4Life Foundation yang difasilitasi oleh Yayasan IBU, telah dibangun permanen. PAUD ini menerima bantuan dana desa dan swadaya masyarakat. PAUD yang dikelola Teh Cici pun sudah punya bangunan dari dana aspirasi dan dana swadaya masyarakat.
Sekitar 15 sampai dengan 35 anak terdaftar tiap tahunnya di semua PAUD Selagedang. Uang iuran yang dulu hanya Rp2.000 – Rp3.000 telah meningkat menjadi Rp10.000/bulan. Iuran itu ditentukan dengan sistem yang dahulu diajarkan, yaitu berbasis kesepakatan antara orangtua dan para kader PAUD.
Kelompok FP3 Selagedang telah bertransformasi menjadi organisasi berbadan hukum yayasan, bernama Yayasan Restu Ibu. Mereka memilih nama Ibu sebagai salah satu nama yayasan tersebut karena merasa sebagai bagian dan anak organisasi yang dibina oleh Yayasan IBU. Para pengurus FP3 adalah juga pengurus dari Yayasan Restu Ibu. Mereka masih menjalankan fungsi advokasi dan usaha sosial yang dulu didampingi Yayasan IBU. Hasil dari advokasi ini salah satunya adalah alokasi dana desa untuk membantu pembangunan bangunan PAUD tadi. Usaha sosial dari Yayasan Restu Ibu masih sama dengan dulu, yaitu menjual alat-alat tulis untuk anak-anak PAUD, tas, seragam, dan jenis barang lainnya yang diperlukan oleh orangtua anak PAUD. Keuntungan usaha dikelola untuk penambahan modal dan tambahan intensif para kader PAUD dan pengurus yayasan ini.
Sementara Pak Baban, Azis, dan Anwar dari Pangadegan bercerita tentang perkembangan PAUD dan FP3 di desa mereka. Seperti halnya di Selagedang, salah satu PAUD yang dulu mendapatkan bantuan bangunan semi permanen dari 4Life Foundation telah direhabilitasi menjadi bangunan permanen. Azis bilang, dananya diperoleh dari dana aspirasi dan swadaya masyarakat di sekitar PAUD-Arraudhoh.
FP3 Pangadegan telah berintegrasi dengan KUD Desa Pangadegan. Dana stimulasi senilai Rp5.000.000 yang dulu diberikan kepada FP3 untuk menjalankan unit usaha sosial, telah digabungkan dengan modal KUD. Dulu, KUD Desa Pangadegan hanya mengelola dana di bawah Rp30.000.000. Dana itu telah bertambah dan sekarang KUD Desa Pangadegan mengelola uang sekitar Rp130.000.000. Berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa Pangadegan, unit usaha yang dijalankan adalah simpan pinjam dan iuran listrik desa. Para pengurus KUD ini adalah pengurus FP3 yang difasilitasi peningkatan kapasitasnya oleh Yayasan IBU. Sama seperti di Selagedang, selain untuk kesejahteraan anggotanya, keuntungan usaha dialokasikan untuk intensif kader PAUD.
Azis yang menjadi pengurus KUD sekaligus sekertaris BPD Desa Pangadegan menyadari bahwa unit usaha KUD perlu dikembangkan, khususnya untuk mengurangi tingkat pengangguran di desanya. Dia ingin membuka unit usaha di KUD dan mengembangkan BUMDES Pangadegan yang fokus pada jenis usaha berbasis produk, bukan sebatas simpan pinjam saja. Dia telah mengikuti pelatihan-pelatihan usaha di Kota Cianjur, termasuk pembuatan model bisnis dan marketing online. Namun, dia memerlukan pengembangan ide terkait jenis usaha yang cocok diterapkan di Desa Pangadegan.
Menyimak kebutuhan yang dikemukakan Azis, saya menjanjikan akan membahas hal ini dengan tim manajemen Yayasan IBU. Yayasan IBU memiliki program pemberdayaan ekonomi jangka panjang yang dijalankan di Kabupaten Subang dan Purwakarta. Saya membuka alternatif yang paling realistis yaitu mengundang perwakilan KUD Pangadegan dan Yayasan Restu Ibu Selagedang untuk melakukan semacam studi banding ke Subang. Mendengar ini, Azis dan Anwar terlihat berbinar-binar. Pendar harapan dan semangat itu meneguhkan janji dalam diri saya untuk membahas ini dengan tim manajemen senior di Yayasan IBU.
Meskipun saya tidak bisa mendengarkan cerita dari kader dan tokoh dari Karangharja dan Kertaraharja, kepuasan dan kehangatan hati memenuhi diri. Saya yakin, perubahan positif pun terjadi di kedua desa tersebut, dengan dinamika dan keunikan masing-masing. Atas semangat dan harapan yang menular, saya mengajak tim untuk singgah sebentar di Sukarame, tepatnya di rumah Bu Komariah, salah satu kader PAUD yang telah menjadi Ketua HIMPAUDI Kecamatan Sukanagara. Setelah pamit pada Pak Apen sekeluarga dan Pak Wahyu, singgah di warung penjual durian dan mengudap beberapa, kami melanjutkan perjalanan ke Sukanagara.
Bu Komariah menyambut kedatangan kami dengan salam dan pelukan hangat. Dia senang dengan kejutan yang tak dia sangka ini. Di dalam rumah panggung kayu dan bambu yang asri dan sejuk, kami saling bertukar kabar dan cerita selayaknya di rumah Pak Apen. Bedanya, tidak ada suara penyanyi dangdut. Suara itu berganti semilir angin pegunungan dan deru lalu lalang kendaraan yang melintasi jalan raya di depan rumah Bu Komariah.
Bu Komariah menuturkan, selain dana swadaya dan lainnya, dana desa telah mulai dialokasikan untuk membangun PAUD di empat desa dampingan Yayasan IBU dulu, secara bergiliran. Telah ada dua bangunan PAUD berdiri di Desa Sukarame, satu bangunan PAUD di Desa Sukajembar, beberapa di Desa Sukamekar, dan tiga bangunan di Desa Sindangsari. Bangunan itu tidak hanya diperuntukkan untuk kegiatan PAUD, ada beberapa yang terintegrasi dengan kegiatan Posyandu.
Semua PAUD dampingan Yayasan IBU dulu yang telah memiliki izin operasional telah menerima BOP (Bantuan Operasional PAUD) dari Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur. Hanya satu PAUD di Sukamekar yang memang masih enggan mengurus izin operasional yang belum mendapatkan BOP. Namun demikian, tahun ini, Bu Komariah melihat PAUD tersebut sudah mau lebih terbuka untuk mengurusnya.
Bu Komariah merasa beruntung dibina oleh Yayasan IBU, khususnya ketika ada kegiatan Diklat PAUD Dasar dan Lanjutan yang difasilitasi oleh Yayasan IBU bekerja sama dengan HIMPAUDI Kabupaten Cianjur. Saat ini memang Diklat PAUD Dasar, Lanjutan, dan Mahir sedang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan berkolaborasi dengan Kementerian Desa melalui program GCD (Gerakan Cerdas Desa). Tidak semua kecamatan dipilih di tahun ini dan tahun sebelumnya. Sementara kader-kader PAUD di Kecamatan Sukanagara telah lebih dulu tersertifikasi. Hanya 15 kader baru di Kecamatan Sukanagara yang belum mengikuti Diklat dan Bu Komariah tetap berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan HIMPAUDI Kabupaten Cianjur agar ke-15 kader tersebut segera diikutsertakan dalam diklat tersebut.
Dari keempat desa yang dulu didampingi Yayasan IBU, Bu Komariah menyebutkan bahwa pembangunan anak usia dini di Desa Sindangsari berkembang sangat pesat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kinerja Pak Ayi, yang dahulu adalah Sekertaris Desa, setelah dipilih menjadi Kepala Desa Sindangsari. Pak Ayi sangat peduli dan memperhatikan pembangunan anak usia dini di desanya, baik untuk PAUD dan Posyandu. Selain mengalokasikan dana desa untuk bangunan ketiga PAUD yang ada di Desa Sindangsari dan penambahan intensif kader, beliau selalu mendukung kegiatan situasional terkait anak usia dini. Misalnya, ketika ada kegiatan perlombaan di tingkat kabupaten, Pak Ayi akan menyediakan kendaraan dan uang jalan untuk para kader yang berangkat.
Memang, dari sejak dulu saya mengenal Pak Ayi, beliau adalah tokoh yang tidak banyak bicara dan lebih banyak bergerak. Beliau juga aktif mengikuti kegiatan yang difasilitasi Yayasan IBU dan menunjukkan sikap-sikap positif untuk mendukung pembangunan anak usia dini di desanya. Saat ada beberapa konflik, Pak Ayi pasti membantu memediasi. Rupanya, hal yang saya lihat dulu, masih konsisten dilakukan oleh beliau.
Kunjungan dan pertemuan dengan Bu Komariah hanya berlangsung kurang dari satu jam. Tetapi, saya merasa melihat kilasan-kilasan perubahan yang padat dan panjang. Rasa hangat yang telah meruah sebelumnya, makin berlipat berganda dan menjejak di kedalaman hati. Kami datang dengan senyuman, disambut pelukan, dan pulang dengan rasa penuh yang meneguh.
Beberapa hal menggaung di dalam benak dan hati kemudian. Berbuat baik selalu menghasilkan kebaikan. Penerima manfaat program bukanlah benda dan objek pembangunan. Mereka adalah orang dan saudara-saudara baru yang sama-sama memiliki kemampuan, harapan, semangat, dan daya gerak.
Bulir-bulir bibit di masa lalu yang ditanamkan Yayasan IBU melalui kegiatan peningkatan kapasitas, telah berubah menjadi buah karsa di masa kini. Mereka lah yang mengubahnya, berkelindan menggerakkan pembangunan manusia di pelosok Cianjur selatan.
Rika Setiawati – Bandung, 05 Februari 2018